Kebahagiaan yang Saya Alami di Atas Rel

 

Bicara soal bahagia, setiap orang punya definisi masing-masing tentang apa itu bahagia. Ada yang bilang bahwa bahagia itu kalau punya uang banyak. Ada yang bilang bahwa bahagia itu kalau hidup bebas dari masalah dan bisa tidur nyenyak. Jika ditanyakan satu-satu, mungkin ada jutaan definisi tentang apa artinya bahagia.

Namun, terlepas dari jutaan definisi tentang kebahagiaan itu, hari ini saya diajar untuk kembali memurnikan pemahaman saya tentang apa itu kebahagiaan. Kisah ini mungkin terjadi hanya dalam beberapa menit saja, tetapi memberikan saya peneguhan bahwa sejatinya inilah kebahagiaan yang harus selalu saya kejar.

Satu hari setelah Natal, saat beberapa perusahaan masih memberikan libur pada para karyawannya, saya sudah harus kembali ke Jakarta. Dalam hati ada sedikit rasa sedih karena waktu libur yang rasanya terlalu singkat. Tapi, saya mencoba berbesar hati. Jangan sampai sukacita Natal yang baru dirasakan kemarin lenyap hanya karena perkara hari ini harus masuk kerja. “Di luar sana banyak orang yang menanti-nantikan pekerjaan! Kamu harus bersyukur,” gumam saya dalam hati.

Karena malam sebelumnya saya baru tidur jam dua dini hari, maka pagi itu mata saya terasa amat berat. Baru lima menit kereta melaju, kantuk pun tak tertahankan dan saya tertidur. Saat kereta telah menuntaskan setengah perjalanannya, saya terusik dan jadi terbangun. Seorang bapak yang duduk di sebelah saya tak kuasa lagi menahan kantuknya hingga kepalanya terhuyung-huyung mengikuti irama goyangan kereta. Pluk. Kepalanya mendarat di pundak sebelah kanan saya. Detik-detik pertama saya sempat merasa risih. Di satu sisi, saya ingin bersandar ke jendela dan melanjutkan tidur. Tapi, jika saya melakukan itu, mungkin bapak itu akan kaget karena tiba-tiba kepalanya kehilangan sandaran.

Selama beberapa detik, terjadi pergolakan batin. Usir kepala bapak itu dari pundak saya, atau biarkan dia menikmati tidurnya walau saya sendiri jadi sulit tertidur. Seharusnya saya tidak sulit untuk mengambil keputusan karena peristiwa ini bukanlah kali pertama. Selama setahun ini, saat bepergian menggunakan kereta ekonomi, biasanya selalu saja ada penumpang yang ‘meminjam’ bahu saya untuk tidur. Jika biasanya saya bersikap ikhlas, pagi ini saya ragu. Saya juga ingin tidur nyaman supaya saat tiba di Jakarta bisa langsung kembali ke kantor dengan keadaan yang fresh.

Tapi, alasan itu membuat hati kecil saya membuka suaranya. “Mengapa kamu begitu egois dan pelit? Cuma pundak loh!” Saya melirik sejenak ke arah sang bapak. Tidurnya pulas, juga sedikit mendengkur. Hmmm. Saya tidak tahu siapa bapak itu, apalagi mengenal kisah hidupnya. Tapi, mungkin dia sedang letih. Mungkin ada perjalanan panjang yang telah atau harus dia lalui. Mungkin semalam dia tak cukup tidur hingga pagi ini dia tak lagi mampu menguasai tubuhnya. Ada banyak kemungkinan dalam diri bapak yang tidak saya kenal itu. Tapi, ada satu kepastian yang bisa saya lakukan dari diri saya sendiri terhadap bapak itu. Akhirnya, saya memilih untuk memberikan pundak saya sebagai tumpuan bagi kepalanya hingga kereta tiba pada stasiun tujuan akhir.

Menjelang kereta tiba di tujuan, bapak itu pun terbangun dan buru-buru mengangkat kepalanya menjauh dari pundak saya. Dia memohon maaf apabila membuat saya jadi tidak nyaman. Dengan senyum lebar saya menggeleng. “Tidak apa-apa kok, pak.” Dan, selama menit-menit terakhir inilah tercipta obrolan hangat hingga akhirnya saat kereta berhenti sempurna, kami mengakhiri perjalanan dengan saling berjabat tangan.

Selama satu setengah jam hingga kereta tiba di stasiun tujuan, ada sebuah sukacita berbalut ucapan syukur yang memenuhi hati saya. Pagi itu saya tidak mendapatkan yang saya inginkan, yaitu perjalanan yang nyaman. Malahan, saya kehilangan kenyamanan itu. Tapi, kehilangan kenyamanan itu justru mendatangkan sebuah kebahagiaan yang saya sendiri sulit untuk mendefinisikannya. Kebahagiaan itu datang bukan karena saya menerima sesuatu, tetapi karena saya memberikan sesuatu. Seketika, pagi itu saya jadi teringat akan perkataan Sang Guru Agung yang berkata, “Adalah terlebih baik memberi daripada menerima.”

Bicara soal memberi, saya menyadari bahwa sejatinya ada banyak kesempatan yang Tuhan berikan supaya kita mau belajar untuk memberi. Hari itu, Tuhan mengajar saya untuk memperbesar kapasitas hati melalui keikhlasan memberi mulai dari hal yang amat sederhana, yaitu melalui sandaran pundak. Jika saya menolak memberi, mungkin tidak ada efek dramatis yang terjadi. Bapak itu akan terbangun dan mencari posisi tidur lainnya. Tapi, jika itu saya lakukan, maka sejatinya saya telah kalah. Saya kalah melawan kenyamanan diri sendiri, dan saya mungkin tak akan mengalami kebahagiaan dari senyuman yang terpancar di wajah orang lain.

Sebuah kesempatan singkat hari ini menyadarkan saya bahwa pemberian itu tak melulu harus bicara soal materi dan nominal angka. Pemberian itu bisa jadi bicara sesuatu yang lebih esensi, sesuatu yang mampu menyentuh hingga ke lubuk hati. Jika saja kita mau membuka mata hati sedikit lebih lebar, tentu kita akan melihat ada begitu banyak orang yang membutuhkan sebuah pemberian. Mungkin ada rekan di tempat kerja yang butuh perhatian yang tulus. Mungkin ada sahabat kita yang membutuhkan dukungan. Bahkan, mungkin pula ada orang asing yang membutuhkan kebesaran hati kita untuk memberikan tempat duduk bagi mereka di atas busway atau KRL.

Sebuah pemberian sederhana, jika tak mampu mengubahkan hidup orang lain, minimal menolong kita untuk mengalahkan rasa egois yang bercokol di dalam diri. 

 

14 pemikiran pada “Kebahagiaan yang Saya Alami di Atas Rel

    1. Betul mas.
      Satu yang selalu saya tanamkan di benak, hal besar tersusun dari sesuatu yang kecil, bahkan tak kasat mata.

      Dengan menghargai hal kecil, kita diajar untuk menjalani hidup yang damai hehehehe.

      Nanti ke Lasem kita dapat cerita apa yak? Haha

    1. Betul mbak Jasmine.
      Jikalaupun bapak itu lupa, tentunya saya tidak lupa, dan peristiwa singkat hari itu mengajari saya untuk mengutamakan orang lain terlebih dulu ketimbang kenyamanan diri :)))

Tinggalkan komentar