Trip Report: Pertama Kali Naik Kereta Api Gaya Baru Malam Selatan

Stasiun Pasar Senen rasanya tak pernah tertidur. Sejak kereta api Tawang Jaya bertolak jam sebelas malam, puluhan kereta dari arah timur berdatangan di pagi buta. Belum usai semua kereta itu tiba, jam setengah enam kurang lima menit, kereta api Kutojaya Selatan jadi yang pertama bertolak ke timur. Begitu seterusnya, menjadikan Stasiun Pasar Senen selalu hidup dan riuh tiap waktunya.

Perjalanan kali ini, kereta saya mendapat giliran berangkat pukul 10:15. Ini adalah pertama kalinya saya menjajal perjalan pagi bersama KA Gaya Baru Malam Selatan (GBMS). Biasanya, kalau hendak ke Jogja atau Solo saya selalu naik kereta api Bogowonto/Gajahwong/Progo, namun kali ini saya ingin mencicip kereta lain yang tujuan akhirnya adalah Surabaya Gubeng.

Saya berangkat dari kantor jam tujuh pagi dan tiba di Pasar Senen sekitar jam setengah sembilan. Suasana stasiun sedang ramai karena KA Matarmaja dari Malang baru saja tiba. Di area parkir, ada lima bus pariwisata yang siap mengangkut rombongan pelajar yang baru selesai karyawisata dari Malang.

Pukul 09:15, setelah KA Serayu Pagi tujuan Purwokerto diberangkatkan, penumpang KA GBMS dipersilakan untuk boarding. KA GBMS dipersiapkan di jalur I, dan di jalur III sudah bersiap berangkat KA Argo Parahyangan Tambahan.

KA Argo Parahyangan idle Senja Utama Solo siap diberangkatkan dari jalur 3 Stasiun PSE.
Bersiap menikmati perjalanan.

KA GBMS, kereta bersubsidi untuk perjalanan jauh

Perjalanan hari itu KA GBMS membawa serta 8 kereta ekonomi kapasitas 106 kursi per kereta, 1 kereta pembangkit, 1 kereta bagasi, dan 1 kereta aling-aling yang diletakkan di belakang lokomotif. Saya duduk di ekonomi-8, paling bontot. Dan, saya beruntung, karena kursi nomor 6E yang saya pilih rupanya searah dengan laju kereta.

Lima menit berselang setelah saya duduk, seorang bapak menghampiri. Ia kesulitan membaca tulisan yang tertera di boarding-pass sebab lampu di kereta padam dan cuaca agak mendung.

β€œOh bapak di 6D, pas di sebelah saya.”

Bapak itu lalu tersenyum. Ia meletakkan ransel besarnya di atas dan duduk di sebelah saya. Dan, seperti biasanya, kawan sebangku di kereta ekonomi seringkali menjadi rekan mengobrol.

β€œTurun di mana masnya?” tanya bapak pada saya.

β€œSaya di Purwosari pak, bapaknya?”

β€œSaya di Mojokerto, hehe.”

Jika perjalanan menuju Purwosari memakan waktu 10 jam, perjalanan bapak itu hingga tiba di Mojokerto memakan waktu hampir 13 jam. Tapi, dia berkata kalau dia tidak lelah dengan perjalanan selama itu.

β€œSaya sering bolak-balik naik ini mas. Sekarang kereta sudah lebih baik. Ada AC-nya, nggak kepanasan lagi”.

Interior K3 PSO KA GBMS.

Dengan statusnya sebagai kereta api subsidi, KA GBMS mematok tarif maksimal seharga Rp 104.000,- per penumpang untuk perjalanan ke Jawa Timur. Sedangkan untuk perjalanan saya ke Purwosari, saya membayar Rp 98.000,-. Jika dibandingkan dengan kereta kelas lain, tarif ini sangat terjangkau buat masyarakat. Perjalanan ke Solo menggunakan kereta eksekutif tarifnya bisa mencapai setengah juta lebih, apalagi kalau akhir pekan. Kereta ekonomi premium, tarifnya sekitar 300 ribu.

Ada yang menarik dari segi penamaan. Biasanya nama-nama kereta api ada kategori-kategorinya. Ada kereta yang menggunakan nama sungai (Serayu, Bogowonto, Gajahwong, Bengawan); nama gunung (Argo Muria, Sindoro, Lawu, Wilis, dsb); nama hewan (Taksaka, Turangga,); nama singkatan (Matarmaja [Malang-Blitar-Jakarta], Joglokerto [Joglo-Solo-Purwokerto], dsb). Nah, penggunaan nama Gaya Baru Malam Selatan ini belum saya temukan sejarahnya. Namun, dari namanya ada satu clue yang bisa kita ambil. Kata β€œSelatan” di sini mengacu pada perjalanannya yang melewati jalur selatan. Dari Cirebon, berbelok menuju Purwokerto, melesat lewat Jogja-Solo-Madiun-Kertosono hingga akhirnya tiba di Gubeng. Dan, kata β€œMalam” di sini menyiratkan perjalanan kereta yang berlangsung di malam hari. Meski begitu, sekarang perjalanan KA GBMS tak hanya melewati malam. Dari Jakarta, KA GBMS berangkat pagi jam sepuluh, dan dari Surabaya, KA GBMS berangkat jam 12 siang.

Punya cerita kelam

Pada tanggal 25 Desember 2001, pukul 04:33 terjadi Peristiwa Luarbiasa Hebat (PLH) berupa tabrakan antara KA 146 Empu Jaya dengan KA 153 GBMS.

Waktu itu, jalur di antara Cirebon-Purwokerto masih merupakan single track, sehingga kereta api harus saling tunggu silang untuk berbagi jalur. KA GBMS masuk di jalur 3 Stasiun Ketanggungan Barat untuk memberi jalan kepada KA Empu Jaya terlebih dulu. Namun, nahas. Terjadi kesalahan dari masinis KA Empu Jaya yang melanggar sinyal masuk beraspek merah. Sehingga alih-alih KA Empu Jaya masuk ke sepur lurus, ia malah berbelok masuk ke sepur tiga tepat di mana KA GBMS sedang berhenti.

Akibat kecelakaan ini, 31 penumpang tutup usia dan 52 penumpang mengalami luka berat. Pasca kejadian ini, konon katanya Stasiun Ketanggungan Barat disebut-sebut sebagai stasiun berhantu.

Sekarang, Stasiun Ketanggungan Barat telah ditutup karena rel di petak Cirebon-Purwokerto telah dibangun ganda sehingga tidak dibutuhkan lagi persilangan kereta.

Stasiun Ketanggungan. Kini hanya ada satu Stasiun Ketanggungan yang beroperasi. Dan, KA GBMS berhenti di sini untuk turun naik penumpang.

Melesat menuju timur

Tepat pukul 10:15, kereta bertolak ke timur. Dari Jakarta hingga Cirebon, kereta melaju konstan dengan kecepatan maksimum 90 km/jam. Selepas Cikampek, kereta melintasi pematang sawah yang luas dan hijau. Kereta sempat berhenti selama kurang lebih dua menit di Stasiun Haurgeulis dan Jatibarang untuk turun naik penumpang.

Kereta tiba di Cirebon Prujakan sekitar jam satu siang dan diparkir di jalur 9. Inilah momen yang ditunggu-tunggu. Di Cirebon, setiap kereta akan berhenti di atas lima menit untuk keperluan isi air. Sebelum kereta berhenti sempurna, saya sudah siap di bordes. Begitu kereta berhenti, saya buru-buru berjalan ke tepi peron satu untuk membeli nasi rames di warung-warung tepi stasiun.

Satu porsi nasi rames di sini harganya 13 ribu. Nasinya lumayan banyak, plus telur dadar, sayur capcay, buncis, satu gorengan, dan seplastik air putih. Ini adalah trip kenyang dan hemat kalau hendak bepergian ke timur Jawa. Kalau beli makan di restorasi kereta api, harganya di atas 25 ribu. Hanya, jika hendak menikmati nasi rames murah meriah ini, kita perlu berlari-lari. Sebab jarak dari jalur 9 ke jalur 1 cukup jauh, hati-hati jangan sampai tertinggal kereta.

Sawah di petak Haurgeulis-Jatibarang.
Warung-warung di sisi peron 1 Stasiun Cirebon Prujakan.
Nasi rames murah meriah nan nikmat.
Stasiun Cirebon Prujakan.

Setelah berhenti sepuluh menit, kereta kembali berangkat. Kaum bapak segera mematikan rokoknya dan kembali masuk ke dalam kereta. Selepas Cirebon, pemandangan dari balik jendela lebih hijau dan menyenangkan. Ada bukit-bukit menjulang di balik hijaunya sawah. Namun, laju kereta sedikit melambat karena rel mulai menanjak, menurun, dan menikung.

Selepas Purwokerto, jalur yang dahulu masih tunggal sekarang sudah ganda sehingga tidak ada lagi tunggu silang. Namun, di balik jalur ganda yang baru diresmikan, ada dua terowongan dan satu jembatan yang harus pensiun. Jembatan Serayu, Terowongan Notog, dan Terowongan Kebasen tidak lagi digunakan untuk lalu-lintas kereta. Sarana ini ditutup, relnya sudah ada yang dicabut.

Stasiun Purwokerto.

Pengerjaan jalur ganda ini baru rampung hingga Stasiun Kroya. Dari Kroya hingga Kutoarjo masih dalam tahap pembangunan. Nanti jika semuanya sudah rampung, Terowongan Ijo pun akan dipensiunkan dan diganti dengan Terowongan Ijo yang baru, yang mampu memuat dua kereta sekaligus.

Karena cuaca di luar hujan, tidak banyak yang saya lakukan selain membaca buku sambil sesekali menatap ke luar jendela. Hmm… inilah pengalaman yang begitu syahdu: menikmati hujan di atas kereta api. Saat rintik-rintik air membasahi jendela, suara besi beradu besi menghasilkan irama yang padu, membuat perjalanan berjam-jam di atas kereta tidak terasa membosankan.

Jam tujuh malam, kereta telah tiba di Lempuyangan. Banyak penumpang turun di sini. Suasana kereta pun lebih lengang. Ada penumpang yang kini bisa menyelonjorkan kakinya, atau bahkan tidur telentang di atas kursi. Satu jam kemudian, tibalah saya di Purwosari, disambut dengan langit cerah sehabis hujan besar mengguyur.

Sepuluh jam setengah di atas kereta hari itu menjadi sebuah perjalan terapi buat jiwa yang setiap harinya berjibaku dengan komputer.

Saya lalu pamit kepada bapak yang duduk di sebelah saya. Ia pun tersenyum dan kursi itu jadi sepenuhnya miliknya. Ia bisa menaikkan kakinya ke atas kursi, dan bersandar di tepi jendela.

Stasiun Purwosari.

Tips menaiki KA GBMS

KA GMBS adalah kereta ekonomi relasi Surabaya Gubeng-Pasar Senen yang melewati jalur selatan. Perjalanan KA ke Surabaya via selatan memakan waktu lebih lama ketimbang utara, mengingat ada trek pegununungan yang harus dilalui kereta api di petak antara Cirebon hingga Kroya. Sedangkan di lintas utara, kebanyakan trek merupakan lintasan landai dan lurus sehingga kecepatan kereta api dapat dipacu maksimal. Dan, di lintasan utara semuanya sudah tersambung dengan jalur ganda. Di lintas selatan, pengerjaan jalur ganda belum sepenuhnya selesai.

Tidak ada rumus kursi nomor berapa yang menghadap searah laju kereta. Kereta ekonomi PSO dapat sewaktu-waktu diganti keretanya ataupun rangkaiannya.

Bawalah bantal leher apabila ingin tidur. Tidur dengan posisi kursi yang tegak membuat leher sakit.

Jika ingin makan murah meriah, belilah makanan di Stasiun Cirebon Prujakan atau di Kutoarjo, atau Lempuyangan.

Jangan pesan kursi nomor B, sebab ini adalah kursi mati gaya. Di nomor B, kita akan diapit oleh penumpang yang duduk di kursi A dan C.

 

18 pemikiran pada “Trip Report: Pertama Kali Naik Kereta Api Gaya Baru Malam Selatan

  1. Nah iya.
    Aku gk kebayang gimana kalau orang maksa pake headset denger lagu kalau dia duduk di kereta K3 Pso kursi nomo 1 atau 24 yang samping pintu, atas roda. Apa iya gak bentrok tu suara.

  2. Salut, Ry. Perjalanan kereta api aja bisa kamu ceritakan dalam satu tulisan seperti ini.

    Belakangan aku lebih suka perjalanan kereta pagi atau siang hari supaya lebih banyak yang bisa dilakukan. Bisa foto-foto, bisa menikmati pemandangan, bisa baca, dsb. Aku tipikal orang yang susah tidur di perjalanan.

    Aku nggak terlalu masalah dengan harga makanan di kereta api. Yang suka bikin sebel adalah saat sudah laper tapi makanan nggak dateng-dateng (aku males jalan ke restorasi kecuali jaraknya deket).

    1. Aku mulai mengikuti jejakmu guh, memilih perjalanan pagi. Dulu, waktu kerjaan masih selow, fine2 aja naik kereta malam dan lgsg kerja begitu sampe. Tp skrg, kalau itu dilakukan lagi, bisa pingsan hahaha.

      Kereta pagi lebih santai bawaannya, dan bisa lihat pemandangan apik juga.

  3. Lama gak buka situs ini ternyata dah ada cerita baru,,, heheheheheeee,,,, btw liburan ke solo yaa..?? aku liburan abis pemilu, cuti 2 hari ke jakarta,,, tgl 20 dan 22… maximal cuma 2 hari ambil cutinya gak bisa lbh dr 2hari hihihiiiii…..

  4. Kadang sedikit heran dengan orang yang asyik memakai headset ketika naik kereta, apalagi harus memasang volume paling kencang demi mendengarkan musik. Tapi tetep saja kalah dg suara orkestra roda2 baja yang beradu dg rel πŸ˜…πŸ˜…

      1. Sekalipun naik Argo Anggrek tetep orkestra roda2 baja yg paling kenceng πŸ˜‚πŸ˜‚
        Aku pernah nyoba, malah bikin sakit telinga. Ya mending nikmatin orskestra aja lah wkwkwk

        Nonton trip report di youtube kalo dikasih backsound musik doang aku skip wkwkwk. Mending yg suara aslinya πŸ˜‚πŸ˜‚

        1. Nah iya.
          Aku gk kebayang gimana kalau orang maksa pake headset denger lagu kalau dia duduk di kereta K3 Pso kursi nomo 1 atau 24 yang samping pintu, atas roda. Apa iya gak bentrok tu suara.

Tinggalkan komentar