Tenggelam dalam Samudera Kata-kata

Aku senang ketika Bandung diguyur hujan, asalkan tidak kelewat lebat hingga menimbulkan banjir parah di sisi selatannya. Suhu udara yang menurun, aroma petrikor yang menyeruak, menghidupkan kembali imaji akan satu dekade lalu, ketika aku masih menetap di sini sebagai anak sekolahan. 

Nostalgia ini tidak lahir tiba-tiba kawan. Sudah seminggu lebih hatiku berat. Air mata sering tiba-tiba menetes ketika pikiran ini menyuruhku berhenti sejenak. Aku melamun, membiarkan jiwaku terbang kembali ke masa lalu. Tapi, kutahu bahwa kebanyakan melamun tidak baik. “Nanti kesambet,” kuingat ancaman ibuku dulu. Supaya pikiran kosongku tidak berlarut, kuputuskan pergi ke toko buku. Kupilih dua novel yang judulnya terasa menarik. Ini sesuatu yang agak lain kulakukan dalam tiga tahun ke belakang. Biasanya, buku yang kubeli adalah buku-buku bukan cerita. Entah itu tentang psikologi, teologi, atau manajemen keuangan yang tiap membacanya tak bisa cepat karena aku punya kebiasaan untuk menstabilokan bagian-bagian penting, lalu menuangkannya kembali dalam catatan kecil sticky notes. 

Sialnya. Meski sudah seniat itu buat membacanya, tetap saja ada momen-momen ketika buku-buku itu akhirnya berakhir cuma teronggok. Aku berhenti di tengah, merasa sudah kepenuhan dengan beragam tips serta khotbah di dalamnya. 

Maka, hari itu jadi babak baru dalam tiga tahun ke belakang. Dengan senang hati, kubuka segel plastik kedua novel itu. Kuhirup dulu baunya sebelum mulai kubuka lembar-lembarnya. 

Pada novel pertama yang berjudul “The Strangers in The Lifeboat”, berkisah tentang sekelompok orang terombang-ambing di laut di atas sekoci. Alih-alih diselamatkan oleh tim evakuasi, mereka malah ketambahan satu pesakitan—orang asing yang mengapung di laut, lalu mereka selamatkan naik ke sekoci. Orang asing ini gila! Ketika ditanya namanya siapa, dia menjawab “Tuhan”. Tak ada yang percaya, tapi tak berani juga menyangkal sepenuhnya sebab orang ini sungguh aneh. Jika dia terombang-ambing di samudera, dia tak memiliki satu pun bekas goresan luka sebagaimana orang-orang lain di sekoci ini yang susah payah menyelamatkan diri dari kapal Galaxy yang meledak lalu tenggelam. Kisah ini ditutup dengan plot twist yang mengingatkanku bahwa sosok yang kupanggil Tuhan itu sungguh ada di dekatku, bersamaku. Hanya, seringkali aku memilih untuk tidak percaya. 

Novel kedua berjudul “Tempat Paling Sunyi”, berkisah tentang seorang pria bernama Mustafa dengan mimpi gilanya ingin menerbitkan novel. Dia hidup pada suasana perang pemberontakan Aceh dengan pemerintah Indonesia. Namun, bukan perang itu yang menghisap habis semua energinya, melainkan Salma, istri yang awalnya begitu dia banggakan, tetapi sekarang selalu diumpatnya setiap hari. Dalam bahtera rumah tangga yang jauh dari bahagia itu, yang digambarkan penulis sebagai tempat di ujung neraka, Mustafa meniti jalan hidupnya yang suram. Ending dari novel ini membuatku menangis. Aku memang belum menikah, tetapi apa yang dirangkum di dalam novel ini menghidupkan kembali segala memori tentang kapal pecah yang kualami dan kuingat hingga sekarang sejak aku masih di bangku TK. 

Nah, kedua novel itu tidak bisa dibilang tipis-tipis amat. Novel pertama berjumlah 271 halaman dan novel kedua 327 halaman. Biasanya, setelah aku bekerja, membaca satu buku pun butuh perjuangan ekstra. Aku butuh satu minggu jika sedang tidak capek. Tapi, dua buku ini habis kubaca dalam rentang kurang dari 36 jam! 

Buku-buku ini berjasa besar pada masa-masa turbulensi hidup

Dua hari kurang, dua buku ini rampung. Bukan asal baca, justru tiap kalimatnya kucerna serius. Dan, aku tidak capek sama sekali meskipun sudah sembilan jam memelototi layar laptop karena apa yang tertulis pada tiap katanya segera membentuk semacam adegan nyata di pikiranku. 

Lalu, apa hubungannya kebahagiaanku tuntas membaca dua novel dengan cerita tentang Bandung yang diguyur hujan? 

Ketika masih SMA, aku pernah punya kenangan manis. Waktu itu ayah ibuku tinggal berpisah. Suatu kali, ayahku yang perangainya galak dan gemar mengomel itu mengajakku pergi ke Gramedia di Jalan Merdeka. Langit sedang hujan gerimis. Aku duduk membonceng di motor Yamaha Vega dengan peleknya yang masih jari-jari, ditutupi jas hujan kalong yang bau tengik karena tidak langsung dijemur setelah dipakai. 

Entah apa yang menginspirasi ayahku mengajakku pergi, aku pun tak tahu. Hanya ada hitungan jari aku pergi berdua dengan dia, karena memang kami tak dekat. Kuterka-terka, mungkin dia tahu kalau aku memang suka membaca. Sejak tahun 2006, aku telah menamatkan trilogi The Golden Compass yang kuanggap buku atheis, tapi aku suka fantasi di dalamnya. Juga tetralogi Eragon yang sangat kusenangi karena aku juga bermain gim Dota kala itu. Tapi sayang, Eragon ini gagal total ketika dijadikan film. 

“Pilihlah buku yang kamu suka,” katanya lalu melengos pergi. Pikirku dia akan keluar untuk merokok, tahunya tidak. Dia berakhir pada bagian majalah, membolak-baliknya tanpa berkata. 

Di keluargaku, hanya akulah yang kutu buku. Keluarga ini asing dari tinta dan kertas sebab jenjang pendidikannya rendah. Kutemukan dua buku menarik, judulnya Taiko dan Musashi. 

Buku-buku ini lebih tebal dari Alkitab. Masing-masing lebih dari 1000 halaman dengan tulisan yang kecil-kecil. Harganya pun tidak murah. Kala itu sekitar 100 ribu, sedangkan uang jajanku 5000. Jika tidak dibelikan, berarti aku perlu menabung 20 hari tanpa beli makan di sekolah!  

Memang aku sedang mujur, ayahku tidak mengelak ketika kusebut harganya. Dibayarnyalah dua buku itu, lalu kami kembali pulang. 

Tak sampai seminggu, masing-masing buku itu tuntas kulalap. Aku terkesima dengan kisah shogun Jepang, kota Kyoto, harakiri, dan tentang bagaimana negeri itu berdinamika sebelum era penjajahan Eropa dimulai di hampir seantero bumi. 

Buku ribuan halaman dengan durasi kurang dari seminggu tuntas dibaca sungguh kontras dengan realitaku hari-hari ini. Namun, dua novel yang kubaca terakhir, yang tuntas dalam kurang dari dua hari telah mengembalikan fajar literatur sastra dalam hidupku.

Aku menikmati terlarut dalam kata-kata, membalik-balik halaman, dan menghirup aroma kertas.

Tabik. 

Batavia, 31 Januari 2024

Tinggalkan komentar