Berkontemplasi dalam Keteduhan Gereja Candi Ganjuran

Minggu lalu saya menghabiskan jatah cuti yang cuma satu hari dengan bertandang ke Yogyakarta. Dari sekian banyak destinasi yang tersaji di kota Gudeg, saya mewajibkan diri untuk singgah ke sebuah gereja di kawasan Bambanglipuro, Bantul, yang dapat ditempuh sekitar satu jam dengan berkendara dari pusat kota.

Sebenarnya, bukan kali ini saja saya selalu menyempatkan diri untuk singgah ke gereja. Sewaktu dulu masih kuliah di Jogja, saya sering datang ke gereja bukan di hari Minggu untuk berdoa.Walaupun katanya berdoa bisa di mana saja, bagi saya berdoa di gereja itu terasa lebih spesial. Setelah lulus dan pindah ke Jakarta pun, sebisa mungkin saya selalu menyempatkan diri untuk singgah. Gereja itu adalah Gereja Ganjuran, sebuah gereja yang unik karena memadukan gaya Eropa, Jawa, dan Hindu-Buddha.

Jam sebelas malam, bersama seorang teman, kami tiba di pelataran parkir Gereja Ganjuran. Seperti biasanya, bapak-bapak petugas parkir menyambut setiap pengunjung dengan ramah. “Monggo, monggo,” sahutnya. Sebelum masuk ke dalam area gereja, kami menyempatkan diri untuk membeli beberapa batang lilin. Walaupun bukan hari Minggu, Gereja Ganjuran tak pernah kehabisan pengunjung. Ada saja orang yang sengaja datang, entah untuk berdoa, ataupun sekadar berdiam diri.

Gereja Ganjuran memiliki nama lengkap sebagai Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran (HKTY Ganjuran). Tapi, masyarakat lebih senang menyapanya dalam versi singkatnya, yaitu Gereja Ganjuran. Dinamai Ganjuran karena lokasi gereja ini berdiri di kawasan Ganjuran, Bantul, atau tepatnya sekitar 30 kilometer ke selatan dari pusat kota Yogyakarta.

Stasi jalan salib menampilkan Yesus Kristus yang tersalib

Gereja Ganjuran terbagi menjadi beberapa bagian utama. Bagian pertama adalah bangunan gereja yang digunakan untuk ibadat komunal. Bagian kedua adalah stasi-stasi jalan salib yang dibuat sejajar dengan tembok. Bagian ketiga adalah candi. Inilah yang membuat Ganjuran berbeda dengan gereja lainnya. Ada candi di dalam gereja. Berdirinya candi tersebut tidak terjadi tanpa alasan. Ada sebuah kisah sejarah nyaris seabad lalu yang melatarbelakanginya.

Pada tahun 1924, dua orang keturunan Belanda bernama Joseph Ignaz Julius Maria Schmutzer dan Julius Robert Anton Maria Schumutzer memprakarsai pembangunan rumah ibadah sebagai wujud bakti gereja pada masyarakat. Alih-alih membangun sebuah gereja yang arsitekturnya berkiblat ke Eropa, Schmutzer, dibantu oleh ariset J. Yh Van Oyen mendirikan sebuah gereja dengan balutan lokal yang sangat kental. Dibangunlah sebuah candi yang merupakan wujud adaptasi dari budaya Hindu-Buddha.

Bagian ruang ibadat yang bentuk arsitekturnya seperti Keraton Ngayogyakarta

Jika biasanya di dalam candi kita akan menjumpai arca lingga atau yoni, di Ganjuran kita akan menjumpai arca Yesus Kristus dalam rupa Jawa. Arca tersebut sengaja diletakkan di dalam candi bukan sebagai objek pemujaan, melainkan sebagai sebuah representasi bahwa ketika umat berdoa, Yesus hadir dan mendengar. Bagi saya yang adalah seorang Protestan, hal ini adalah sesuatu yang unik, mengingat di dalam gereja Protestan tidak banyak simbol-simbol, entah itu berupa patung atau tulisan yang ditonjolkan dalam penyembahan.

Selain mengadaptasi budaya Hindu-Buddha, Gereja Ganjuran pun mengadaptasi budaya Jawa yang tercermin dari alat musik gamelan dan bangunan gedung ibadah yang bentuk dan ukirannya menyerupai Keraton Ngayogyakarta. Agama Katolik yang tumbuh dan berkembang selama satu milenium lebih di benua Eropa seolah terasa menjadi begitu lokal di Ganjuran. Dalam perjalanannya, Gereja Katolik di Ganjuran menyadari bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat Jawa. Oleh karenanya, budaya Jawa tersebut dihidupkan dan berakulturasi dalam kehidupan iman gereja dan umatnya.

Sebelum mengambil tempat di pelataran candi untuk berdoa, kami membasuh kaki, tangan, dan wajah di pancuran keran yang terletak di samping bangunan candi. Membasuh kaki dan sebagainya memang bukan hukum wajib sebelum berdoa. Tetapi, saya tetap melakukannya dengan prinsip bahwa saya harus tampil bersih sebelum bertemu dengan Sang Pencipta.

Berdoa di Gereja Ganjuran adalah sebuah kesempatan untuk berkontemplasi dalam keheningan. Saat malam tiba, suasana menjadi begitu hening dan teduh. Di belakang candi, temaram lilin-lilin memberikan nuansa damai. Sementara itu, aroma dupa yang dibakar menyajikan kesan magis yang mendekap hati. Umat berdoa dengan khusyuk. Ada yang membaca buku doa, ada pula yang memegang kalung rosario sambil mendaraskan doa yang tak putus-putus. Jika tengah malam seharusnya kantuk menyerang, di Ganjuran rasa kantuk itu seolah sirna tergantikan oleh semangat untuk menyesap keheningan dan mendengar sabda-Nya.

Selama tiga puluh menit saya terduduk diam dan berdoa, mengucapkan berbagai keluh kesah, permohonan, dan penyesalan diri kepada-Nya. Usai berdoa, saya beranjak ke belakang candi untuk menyalakan beberapa batang lilin yang sebelumnya saya beli di parkiran motor. Menyalakan lilin sehabis berdoa memberi saya sebuah kenyamanan dan ketenangan batin. Cahaya temaram lilin menandakan bahwa doa akan memberikan harapan, dan harapan itu bercahaya hingga mengusir kegelapan. Dalam kehidupan, tak ada seorang pun yang tahu jalan hidup di depannya. Gelap. Akan tetapi, ibarat cahaya lilin, itulah doa. Cahayanya yang temaram mampu mengiringi perjalanan kita, selangkah demi selangkah untuk menapaki masa depan.

Di tengah kehidupan Ibukota yang berderap kencang, singgah ke Ganjuran memberi saya sebuah ketenangan batin dan kekuatan jiwa, seperti kutipan Kitab Suci yang mengatakan: Dalam tinggal tenang dan percaya, di situlah letak kekuatanmu.

Satu pemikiran pada “Berkontemplasi dalam Keteduhan Gereja Candi Ganjuran

Tinggalkan komentar