Jelajah Pecinan di Jantung Jakarta

 

Perjalanan panjang Jakarta sebagai sebuah kota tak bisa lepas dari keberadaan Pecinan–sebuah kawasan tempat bermukimnya orang-orang Tionghoa. Sejak Jakarta masih akrab disapa sebagai Batavia, orang-orang Tionghoa telah hadir, menetap, dan melarut dalam kehidupan masyarakatnya.

Hingga kini, seiring dengan Jakarta yang telah berubah wajah menjadi megapolitan, jejak lampau antara Batavia dan orang-orang Tionghoa tersebut masih dapat kita saksikan secara nyata di kawasan Glodok, Jakarta Barat.

Jejak lampau inilah yang menjadi daya tarik bagi para penggiat fotografi untuk mengadakan sebuah event bernama Kelana Jakarta. Event ini terbuka bagi siapapun yang ingin mengenal Jakarta lebih dalam melalui jelajah Pecinan.  

Etape 1: Gedung Candra Naya

Acara dimulai pukul 7 pagi di hari Minggu. Sebelum jelajah dimulai, semua peserta diminta untuk berkumpul terlebih dahulu di Gedung Candra Naya. Bagi saya yang merupakan pendatang baru di Jakarta, nama bangunan ini terdengar asing, pun letaknya tersembunyi di tengah-tengah gedung yang tinggi menjulang. Namun, berbekal GPS di ponsel, dengan mudah saya bisa tiba di Candra Naya tanpa perlu tersesat.

Candra Naya adalah sebuah bangunan kuno berarsitektur Tiongkok yang tidak diketahui kapan tanggal pasti didirikannya. Satu-satunya penanda yang bisa dijadikan clue kapan bangunan ini didirikan adalah ornamen kelinci. Konon katanya, kelinci tersebut menjadi penanda bahwa bangunan ini didirikan pada tahun kelinci, yang jika dikira-kira mungkin sekitaran tahun 1800-an.

Sambil menanti seluruh peserta tiba, seorang tour leader dari Jakarta Good Guide pun bertutur panjang lebar tentang bangunan Tiongkok yang berdiri tepat di depan kami. Candra Naya merupakan nama seorang Mayor Tionghoa. Pada zaman Belanda dulu, kawasan pemukiman di tanah Jawa dibagi-bagi menurut kelompok etnis. Hal ini ditujukan supaya pengontrolan dapat lebih mudah dilakukan oleh Belanda. Orang-orang Tionghoa kala itu dikelompokkan sebagai golongan Timur Jauh dan di Batavia, lokasi pemukiman mereka letaknya tak jauh dari Kota Tua.

Di kampung Tionghoa atau Pecinan, pengaturan daerah secara administratif dilakukan oleh Dewan Tionghoa (Kong Koan) yang anggotanya adalah kapiten dan letnan. Agak berbeda dibandingkan kota-kota lainnya, khusus untuk Batavia, Semarang, dan Surabaya, ketua Kong Koan dijabat oleh seorang Mayor Tionghoa yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara kecil di antara orang-orang Tionghoa namun atas nama pemerintah Hindia Belanda. Tapi, perlu diingat bahwa peran Kong Koan hanya untuk mengurusi perkara kecil. Perkara yang lebih besar tetap harus ditangani oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Karena Candra Naya adalah seorang mayor, maka arsitektur kediamannya pun disesuaikan untuk menunjukkan jabatannya yang tinggi, yaitu ujung kedua atapnya dibentuk lancip. Ukuran rumahnya pun sengaja dibuat besar karena saat itu sang Mayor memiliki 14 orang istri dan dikaruniai 24 orang anak laki-laki. Berapa jumlah anak perempuannya tidak diketahui karena pada masa itu hanya anak laki-laki saja yang tertulis dalam silsilah.

Seperti rumah-rumah khas Tiongkok pada umumnya, rumah Candra Naya pun dilengkapi dengan dua jendela dan satu pintu besar di tengah-tengahnya. Jendela kiri melambangkan kelahiran. Pintu di tengah melambangkan pernikahan dan jendela di kanan melambangkan kematian.

Dari sekian banyak bangunan kuno yang telah berganti wajah menjadi gedung-gedung modern, Candra Naya merupakan salah satu yang tetap lestari. Keasliannya masih sangat dipertahankan. Hanya, bangunan ini tidak diperuntukkan untuk publik. Jika ingin menelisik masuk ke dalamnya, harus membutuhkan izin terlebih dahulu. Tapi, bagi pengunjung yang hanya ingin sekadar melihat-lihat, bisa menyambangi bagian luar bangunan yang saat ini sudah dilengkapi dengan kedai kopi.

Etape II: Pasar Petak Sembilan

Dari titik kumpul di Gedung Candra Naya, peserta kemudian dibagi menjadi dua regu. Tujuannya tetap sama, hanya alurnya saja yang berbeda. Dengan berjalan kaki, saya masuk di regu pertama dan tujuan selanjutnya adalah Pasar Pagi Petak Sembilan.

Tour leader kami sedang bertutur tentang sejarah Pecinan

Melangkahkan kaki di sepanjang jalan Gajah Mada, pandangan saya terarah ke ruko-ruko tua yang seluruh pintunya ditutup, mungkin karena masih pagi. Trotoar yang kami lalui adalah trotoar bergaya arcade. Pada tahun 1960, pemerintah meminta kepada setiap pemilik toko untuk membangun bangunannya agak menjorok ke luar dan trotoar terletak di bawahnya. Tujuannya adalah supaya sambil berjalan kaki, orang-orang bisa sekalian melakukan window shopping. Sambil jalan, siapa tahu jadi kepingin beli. Jenis trotoar seperti ini masih lumrah ditemui di kawasan Asia-Afrika, Bandung dan juga Malioboro, Yogyakarta.

Sebagai seorang yang dulu mempelajari Ilmu Sosial, label yang seringkali dilekatkan kepada orang Tionghoa adalah mereka pasti pengusaha. Walaupun saat ini tak seratus persen orang Tionghoa jadi pengusaha ataupun pedagang, label itu tak sepenuhnya hilang. Saat kami tiba di kawasan Jalan Pancoran, suasana sedikit lebih riuh. Beberapa orang Tionghoa yang memiliki usaha toko obat sudah membuka gerainya dan beberapa pembelinya pun sudah datang.

Ketika ilmu pengobatan medis ala Barat semakin canggih, toko-toko ini tetap bertahan menghadapi gempuran zaman. Modernitas tidak mengalahkan kekunoannya. Banyak orang, termasuk juga ayah saya percaya bahwa obat-obatan Tiongkok memiliki khasiat yang lebih manjur dan efek samping yang lebih sedikit ketimbang obat-obatan modern. Kepercayaan yang diteruskan secara turun-temurun inilah yang tetap membuat jejeran toko obat dan sederet produk pengobatan Tiongkok tetap lestari hingga kini.

Melangkah lebih jauh ke dalam pasar, kami disambut oleh lantai becek dan sedikit bau amis yang memang menjadi ciri khas sejati dari pasar tradisional. Tapi, ada yang menarik pandangan saya. Tak hanya sayur-mayur dan bahan pokok lainnya, tetapi ada banyak ornamen-ornamen khas Tiongkok yang juga dijual di sini. Ada kertas angpao, kipas-kipas, dupa, dan juga peralatan sembahyang bagi umat Buddha ataupun Konghucu.

Pasar Petak Sembilan bukanlah pasar yang baru berdiri kemarin sore. Pasar ini hadir sejalan dengan perjalanan panjang kawasan Pecinan Glodok. Walaupun saat ini swalayan-swalayan raksasa telah menjamur di se-antero Jakarta, Pasar Pagi Petak Sembilan tidak kehilangan daya tariknya. Ratusan orang menjejali pasar pagi itu, mereka melakukan ritual khas yang tak bisa ditemukan di swalayan, yaitu tawar menawar. Ada yang membeli kepiting hidup, kodok, juga teripang yang harganya sangat mahal. Bagi saya, berbelanja atau sekadar berjalan-jalan di pasar tradisional jauh lebih menarik ketimbang di swalayan, suasananya lebih hidup karena manusia-manusia di sini saling berinteraksi.

Teripang segar.

Etape III: Vihara Dharma Bhakti – Vihara Toasebio

Di Pecinan, pasar dan Vihara adalah satu paket yang tak dapat dipisahkan. Di mana ada pasar, di situlah Vihara juga terletak. Pasar untuk mendulang rezeki, sedang Vihara menjadi loka untuk memohon rezeki kepada Yang Kuasa.

Vihara Dharma Bhakti adalah vihara yang didaulat sebagai vihara paling besar se-antero Jakarta dengan luas keseluruhannya mencapai 1.200 meter persegi. Namun, dari balik kebesarannya, Vihara Dharma Bhakti menyimpan kisah pilu. Pada Maret 2015 silam, sebuah lilin besar yang digunakan untuk berdoa terjatuh dan mengakibatkan api menjalar dengan cepat. Akibatnya, seluruh bangunan vihara ludes terbakar, termasuk 13 patung dewa-dewanya. Namun, patung Dewi Kwan-Im atau Dewi Welas Asih berhasil selamat dari kobaran api. Saat kami berjalan-jalan mengitari bangunan vihara, jejak murka si jago merah tersebut masih dapat disaksikan. Ada tiang-tiang bangunan yang menghitam dan beberapa sudut tengah direnovasi.

Aroma dupa dan asap pekatnya memenuhi seluruh ruangan dalam vihara. Walaupun hari itu bukanlah hari spesial dalam penanggalan Tionghoa, ada puluhan umat yang sengaja datang untuk berdoa. Mereka mengambil segenggam hio, membakarnya, kemudian berdoa dengan khusyuk.

Sebagai seorang anak yang dilahirkan dari ayah yang dulu menganut kepercayaan Buddha, vihara dan aroma dupa tidak asing di hidung saya. Malah, aroma tersebut membangkitkan nostalgi akan masa-masa ketika dulu Ayah sering mengajak saya berdoa di sebuah kelenteng di Bandung. Ayah pernah bertutur kalau sosok dewi yang dia kagumi adalah Dewi Kwan Im, sedangkan sosok yang paling dia takuti adalah Dewa Penjaga Neraka yang saya tak tahu namanya. Jika Dewi Kwan Im digambarkan dalam sosok yang menyejukkan, sosok Dewa Neraka cukup menyeramkan; matanya merah, lidahnya menjulur, dan tangannya memegang senjata, sampai-sampai dulu jika berada di vihara, saya selalu menghindar untuk melihatnya.

Selain Vihara Dharma Bhakti, Vihara Toasebio juga terletak di kawasan Petak Sembilan, namun ukurannya lebih kecil ketimbang Vihara Dharma Bhakti. Toasebio merupakan gabungan dari dua kata, yaitu Toase yang berarti pesan dan Bio yang artinya kelenteng. Sehingga makna dari nama Toasebio adalah menghormati pesan yang dibawa oleh leluhur dari tanah Tiongkok.

Pada tahun 1740 terjadi pembantaian terhadap etnis Tionghoa yang dilakukan oleh Belanda. Vihara Toasebio pun turut dibakar namun dibangun kembali pada tahun 1751. Peristiwa berdarah itu dimulai dari merebaknya rumor bahwa orang-orang Tionghoa akan dibawa oleh Belanda ke Sri Lanka, namun konon katanya mereka tidak akan pernah sampai di tujuan karena Belanda akan menghabisi mereka di tengah jalan. Karena takut, warga Tionghoa yang bermukim di Batavia pun memberontak dengan menyerang Belanda. Untuk meredam pemberontakan itu, Belanda pun membantai warga Tionghoa di Batavia secara massal dan sadis. Jasad-jasad mereka dihanyutkan begitu saja ke kali Angke yang berasal dari dua kata, yaitu Ang yang berarti merah dan Ke yang berarti sungai. Banyaknya jasad yang dibuang ke sungai menjadikan kali Angke kala itu sebagai sungai penuh darah.

Kisah kekejaman tersebut secara kasat mata memang tak lagi terlihat. Akan tetapi, kekerasan tersebut sempat terulang di tahun 1998 di mana terjadi huru-hara yang menyasar etnis Tionghoa. Akibatnya, rumah-rumah di sekitaran Pecinan ini pun dibuat lebih tertutup, bertingkat tinggi dan kini dilengkapi dengan teralis-teralis besi.

Etape IV: Gereja St. Maria de Fatima

Tak jauh dari Toasebio, berdiri sebuah bangunan khas Tiongkok yang dulunya adalah kediaman seorang Kapten bernama Tjio. Namun, jika di Toasebio aroma dupa semerbak tercium, di bangunan ini tak ada bau-bauan, hanya suara nyanyian umat melantun hingga ke pinggir jalan. Bangunan khas Tiongkok ini bukanlah sebuah vihara atau kelenteng, melainkan sebuah gereja Katolik.

Pada tahun 1950-an, bangunan ini dibeli oleh gereja Katolik dan dijadikan sebuah tempat beribadah. Waktu itu, gereja ini baru memiliki 15 umat, namun seiring dengan waktu pun jumlahnya semakin banyak. Warga Tionghoa kala itu lebih memilih berpindah keyakinan ke Katolik ketimbang Protestan, alasannya sederhana karena di dalam ajarah Katolik mereka tidak sampai harus benar-benar menghilangkan tradisi. Mereka masih diperbolehkan untuk memegang dupa sembahyang.

Pelayanan para pastor Katolik itu juga dimulai dari sebuah sekolah bahasa. Saat ini, sekolah bahasa tersebut telah berubah menjadi sekolah Ricci yang lokasinya tak jauh dari lingkungan gereja.

Etape V: Gang Kalimati – Gang Gloria

Saya tak punya gambaran apapun tentang seperti apa rupa kedua gang ini. Namun, tatkala saya tiba di sana, saya menyukainya! Ada banyak makanan yang dijual di gang ini. Tapi, berhubung ini adalah kawasan Pecinan maka kebanyakan makanan yang dijual adalah non-halal. Tour Leader kami berkali-kali mengingatkan kepada teman-teman peserta supaya jangan sampai salah pilih makanan.

Walaupun Gang Kalimati dan Gloria sama-sama berisikan penjual makanan, tapi penjual di Gang Gloria katanya lebih agresif. Di Gang Gloria, para penjual memanggil-manggil tiap pengunjung yang melintas di depan kedainya. Tapi, berhubung waktu kami berkunjung sudah hampir jam sebelas, sepertinya mereka sudah lelah. “Kalau sudah agak siang, teriakannya gak kenceng lagi,” kata tour leader kami.

Nama Gang Kalimati terderngar cukup seram di telinga saya. Seperti kisah sejarah Toasebio, Gang Kalimati pun memiliki kisah serupa, yaitu pembantaian orang-orang Tionghoa di mana jasad-jasadnya dibuang ke sungai begitu saja. Tapi, walaupun namanya menyeramkan, kesan seram itu tak lagi terlihat. Malah, saat ini Gang Kalimati telah berubah wajah menjadi gang surga kuliner.

Berbagai macam olahan makanan dari daging babi tersedia di sini. Ada Cu Kiok alias kaki babi yang dimasak dalam panci besar bercampur kuah kecap. Juga ada Babi Hong, dan aneka jenis olahan lainnya. Perhatian saya tertuju kepada sebuah gerobak motor yang di belakangnya terdapat bakul siomay. Aromanya semerbak dan membuat air ludah berkumpul di mulut. Siomay non-halal lezat ini dibanderol seharga 3 ribu rupiah per buahnya. Dibalut dengan saus kacang dan kecap manis, siomay ini begitu nikmat saat mendarat di dalam mulut. Sebenarnya, selain kuliner mengandung babi, ada banyak kuliner lainnya yang juga bisa dinikmati dengan aman. Tapi, sebungkus siomay itu benar-benar membuat saya kenyang dan jadi tak lagi bernafsu untuk menyantap kudapan lainnya.

Jeroan babi

* * *

Jam 12 siang, penjelajahan Kelana Jakarta pun usai. Walau jarak yang ditempuh tak jauh-jauh amat, tetapi tubuh saya basah oleh keringat dan kaki lumayan pegal. Di tengah udara Jakarta yang pengap dan panas, sangat menyejukkan rasanya apabila menghabiskan akhir pekan dengan duduk-duduk di mal yang dilengkapi pendingin udara. Tapi, hari itu saya tidak memilih opsi demikian. 

Di balik padatnya pasar dan jalanan panas berdebu, ada sebongkah sejarah tentang Jakarta yang sudah sepatutnya saya ketahui dan pahami. Bagaimana caranya kita bisa mencintai seseorang? Jawabannya adalah dengan mengenal dan memahaminya. Oleh karena itu, saya mau belajar untuk mengenal sedikit demi sedikit Jakarta dan perjalanan panjangnya. Saya yakin bahwa di balik imaji Jakarta yang semerawut dan penuh polemik, ada nilai-nilai sejarah dan kehidupan yang bisa dipetik. 

Terima kasih kepada rekan-rekan dari Komposisi.id dan Jakarta Good Guide yang telah menyelenggarakan acara ini!

 

 

10 pemikiran pada “Jelajah Pecinan di Jantung Jakarta

    1. Halo Mbak Liana,

      Di Jakarta ini baru ikut walking tour sama Jakarta Good Guide sekali mbak. Biasanya aku sih jalan-jalan sendirian karena menurutku lebih fleksibel. Tapi menyenangkan juga ikt walking tour, jdi dapat teman baru hehehehe.

  1. klo wisata jejak tionghoa di Indonesia, menarik di Medan, palembang, Semarang ya. tapi beberapa spot pecinan Jakarta ada spot bagus. seru ya bisa keliling :’)

  2. “Warga Tionghoa kala itu lebih memilih berpindah keyakinan ke Katolik ketimbang Protestan, alasannya sederhana karena di dalam ajarah Katolik mereka tidak sampai harus benar-benar menghilangkan tradisi. Mereka masih diperbolehkan untuk memegang dupa sembahyang”. bagian ini menarik, dan aku baru tau, sempat lama bertanya kenapa kebanyakan keturunan tionghoa banyak yang memeluk katolik, eh udah dijawab di tulisanmu

      1. iya sih, aku jg nebak2 kenapa kebanyakan penganut protestan entah rumah ibadahnya atau rumah umatnya lebih sederhana, jarang sekali ditemukan patung yesus (pemahaman awamku saja) semoga salah

      2. Kalau di Katolik, tradisi lokal biasanya akan berakulturasi dengan iman. Sehingga, apa yang baik dari budaya lokal tersebut tidak sepenuhnya hilang. Semisal, di Jogja ada gereja candi Ganjuran, lalu ada pula misa dalam bahasa Jawa, dan sebagainya.

        Lalu, kalau di Protestan sendiri tidak banyak menggunakan simbol. Makanya, baik di gereja ataupun di rumah-rumah penganutnya, jarang ditemukan adanya patung-patung ataupun salib. Kalaupun ada jumlahnya tidak banyak, dan benda-benda tersebut dianggap hanya sebatas simbol, tidak mempengaruhi keimanan secara langsung hehehe.

Tinggalkan komentar