Pohon Tua, Tolong Ceritakan Aku Kisah Bijaksana

Seperti orang tolol. Begitu gumamku buat diriku sendiri yang di tengah cuaca hujan angin bukannya berlindung malah pergi mengeluyur.

Ini hari Senin. Kuambil cuti mendadak yang kuajukan dua belas jam sebelum hari Minggu berakhir. Dengan sedikit penjelasan, atasanku itu mengerti. “Take your time,” ketiknya menutup obrolan singkat kami di WhatsApp. 

Aku terduduk di salah satu titik teduh di Kebun Raya Bogor. Di depanku ada kolam yang ukurannya lebih kecil jika dibandingkan dengan kolam utama di dekat istana. Teratai-teratai tumbuh di tengah. Ikan-ikan kecil beserta kecebong tampak berkeriapan di airnya yang agak keruh. Hujan turun kembali. Tak ada orang lain di sini, hanya aku seorang. 

Teratai mekar di kolam
Kolam yang menghubungkan sisi atas dengan bawah kebun raya ini spot paling meneduhkan yang kusuka untuk mendiamkan diri.

Sebetulnya kebun tua seluas 82 hektar ini tak lagi spesial. Sejak 2015, tiap tiga bulan sekurang-kurangnya selalu kusempatkan sekali bertandang ke sini. Tetapi, kendati sisi istimewanya telah memudar, aku tak pernah kehilangan kenyamanan dari membiarkan diriku larut dalam keteduhan pepohonan tuanya… meskipun sekujur kulitku bentol-bentol digigit nyamuk dan serangga. 

Kubuka payungku, kususuri jalan demi jalan ditemani rintikan tirta dari angkasa. Mendekati sungai Ciliwung yang membelah kebun ini menjadi dua area, kutatap plat besi yang ditempel pada batang-batang kokoh. 

“1845”

“1925”

Itulah tahun ketika pohon-pohon itu ditanam. Mereka jauh lebih tua daripada usia republik ini, dan jauh lebih kolot pula daripada usia manusia mana pun. Mereka hidup melintasi zaman, tetapi tak ada yang mampu mereka ceritakan dengan kata-kata bagaimana perjalanan panjang itu. 

Kudekatkan badanku untuk mengusap kulit kayunya. 

“Pohon, adakah kisah yang baik untuk kupelajari darimu?” Pertanyaan ini kuucapkan dalam hati. Aku tahu ini pertanyaan retoris yang kuharap tidak ada jawaban, sebab pastilah aku akan lari tunggang-langgang bila rupanya pohon ini tiba-tiba bersuara. Bukan pengalaman gaib yang memang kucari. Aku ingin mengunduh ketenangan, semacam obat bagi suasana hatiku yang kacau balau. 

Kututup mataku. Hening. Suara dalam hatiku lantas berbisik lembut. 

Jika dibandingkan dengan usia manusia yang agaknya ditutup sebelum mereka menginjak seabad, pohon-pohon jauhlah superior. Mereka hidup lebih lama. Atau, jikalau pun mereka mati, selalu terbit kembali kehidupan setelahnya. Tak percaya? Kulihat ada sebuah batang pohon besar yang telah tumbang. Tak ada lagi akar yang menancap. Di berbagai sisi, kayunya telah melapuk dengan aneka binatang menggerogoti atau hinggap di dalamnya. Namun, terbit pula tunas-tunas baru dengan batang hijau yang begitu ringkih. Hmmm. Bila pohon mati meninggalkan kehidupan baru dari bangkainya, apa yang ditinggalkan manusia selepas raganya sirna? 

Kuingat lagi masa-masa duka ketika mendampingi ayahku berpulang. Semakin usiaku naik, semakin sering kuterima kabar dukacita, yang buatku ini lebih menyakitkan ketimbang kudengar kabar teman-temanku yang menikah lalu mengolok-olokku untuk segera kawin agar aku tidak jadi bujang lapuk. Orang tuaku, juga orang tua teman-temanku semakin senja usianya. Artinya, ibarat bunga yang telah lewat masanya mekar, satu per satu dari mereka berguguran. 

Hidup manusia memanglah singkat, tetapi yang kutahu menjadikannya berarti bukanlah durasinya, tetapi bagaimana dia menjalani setiap jengkal waktunya. Apakah dia memilih berbahagia atas tiap keputusannya? Ataukah, dia selalu mengeluh dan tidak pernah menjumpai kepuasan di dalamnya? 

Jika ia berbahagia, ia laksana pohon yang bertumbuh kembang. Makin dia tua, makin teduh hidupnya. Orang-orang menjadikan kehadirannya laksana pohon trembesi tua untuk bernaung dari teriknya matahari. Kelak jikalau ia mati pun, teladan-teladannya hidup dalam diri orang-orang yang telah menikmati naungannya, laksana tunas-tunas muda yang terbit dari rekahan kayu yang melapuk. 

Laksana fajar merekah yang melenyapkan gulita di segara, demikianlah suasana hatiku. 

Kekacauan hatiku. Pendeknya usia manusia. Itu semua tak jadi soal. Bila pun kelak aku melapuk dalam usia dan statusku, aku tahu aku bisa menghidupi falsafah hidup sebuah pohon. 

Buitenzorg, 29 Januari 2024. 

Tabik. 

Semut-semut menjalni hidup di atas daun-daun yang telah gugur, mati, dan siap kembali melebur menjadi tanah

Tinggalkan komentar