Si Kumuh yang Memikat Mata

Sembilan hari di Hong Kong, berarti sembilan hari pula berjalan kaki lebih dari sepuluh ribu langkah dalam sehari. Sembilan puluh persen warga Hong Kong bermobilitas menggunakan transportasi publik. Artinya, untuk pindah dari satu moda ke moda lain, atau dari titik pemberhentian hingga tujuan pribadi, harus dicapai dengan kaki sendiri. 

Pada hari ketujuh, setelah semua agenda meeting tuntas, aku bersama rombonganku yang jumlahnya lima orang memilih untuk menjelajah ke pulau Hong Kong di sisi selatan Kowloon. Bisa dibilang pulau Hong Kong adalah bagian oldies dari Hong Kong karena di sinilah Inggris mendirikan pusat pemerintahan selama 156 tahun kekuasannya.

Dari tempat menginap di Sham Sui Po, kami menaiki MTR (MRT versi Hong Kong) menuju Stasiun Central. Lin ini menarik karena menyeberangi selat sempit via terowongan, tapi penumpang tidak akan sadar kalau kereta yang mereka tumpangi sedang menggeliat di kolong laut karena seluruh jalurnya terletak di dalam terowongan. 

Nah, meskipun seluruh area urban Hong Kong bentukannya sama–gedung-gedung bertumpuk dan padat, di Pulau Hong Kong ada sepasang jalur tram yang masih aktif sampai sekarang. Turun dari Stasiun Central, kami geser berganti lin untuk turun di taman memorial Sun Yat Sen, setelahnya kami menaiki tram sampai ke Kennedy Town. 

Jejak peninggalan Inggris masih kental di sini. Paling gampang terlihat dari penamaan wilayah. Ada Admiralty, Central, Causeway Bay, Fortress Hill, dan yang paling barat Kennedy Town. 

Suasana jalanan di Pulau Hong Kong dekat di petak antara stasiun MTR Tai Po dan Quarry Bay

***

Selepas jam empat sore, kami mulai bingung mau lanjut ke mana lagi. Seorang temanku yang warga negara Singapura mengusulkan kita pergi ke museum. 

“Hmm.. berapa dolar?” tanyaku. Bukan aku itungan, tapi kalau segala harga dari dollar Hong Kong dikonversikan ke Rupiah rasanya bikin gelisah. Sebotol Pocari yang di Indonesia bisa kubeli dengan harga kurang dari ceban, di Hong Kong harus kutebus dengan harga 12 dolar atau setara dengan 24 ribu. 

“50 dolar tiketnya sih…” 

“Wahhh!” kugelengkan kepala. “Gimana kalau kita cari yang gratisan?”

Usulku disambut. Kami cari area-area menarik yang tidak perlu tiket masuk. Lalu, aku teringat itinerary yang minggu lalu sempat kubuat bersama tim. 

“Monster Building nih, bagus gaes,” kataku sembari kutunjukkan foto-fotonya. 

Semua temanku setuju untuk ke sana. Dari Kennedy Town, kami kembali naik MTR satu lin sampai turun di Quarry Bay. 

Quarry Bay adalah wilayah permukiman di sisi timur pulau yang dibangun oleh pemerintah pada dekade 1960-an. Pada masa itu, Hong Kong mengalami kemajuan ekonomi yang pesat dan digadang-gadang sebagai penghubung dan titik temu antara Timur dengan Barat. Hong Kong, si kapitalis, yang berada persis di sebelah induknya yang komunis. Pertumbuhan ekonomi selaras pula dengan pertambahan penduduk. Dengan lahan yang terbatas karena kontur pulau berbukit-bukit, area landai harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Pemerintah pun membangun hunian vertikal bersubsidi bagi masyarakat dengan pendapatan rendah. Dan… inilah bangunan apartemen yang menjadi ikon de facto dari Hong Kong. 

Memasuki area apartemennya, kesan yang muncul di benakku adalah suasananya tidak jauh beda dengan pasar-pasar basah yang ada di Indonesia. Ada aroma sampah, daging segar, juga lembab. Suasana ini sudah terasa sejak kita menaiki undakan tangga dengan sisi-sisi temboknya yang sudah terkelupas. 

Setelah tangga berbelok, barulah kita akan disuguhkan dengan panorama apartemen tumpuk bertumpuk dan padat. Bentuk apartemen ini mengambil abjad “U” dengan lahan kosong di tengah-tengahnya. 

Tangga suram untuk mencapai Monster Building.
Tangga ini lebih terasa kesan horrornya ketimbang estetik.
Setelah naik tangga, kita langsung disambut dengan bangunan apartemen yang seolah tiada spasi dan jeda.
Sisi lain dari apartemen di Quarry Bay

Warga lokal cuek-cuek saja dengan kehadiran para turis, mungkin karena sudah terbiasa. Tapi, ada larangan agar para turis hanya berfoto di area depan. 

Sambil aku memotret, kulihat di sisi kananku ada dua toko dari Asia. Yang satu adalah toko Candra, toko yang menjual segala hal tentang Indonesia. Ada teh kotak, bumbu racik, sampai aneka iklan pengiriman barang menuju daerah-daerah di Cilacap. Sebelahnya, ada toko khas India dan Bangladesh, dengan aroma rempah yang tercium kuat. 

Penyebutan “Monster Building” tidak datang dari warga lokal, melainkan dari para turis. Mungkin istilah ini muncul karena apartemen ini dijadikan latar syuting beberapa film seperti Transformers dan Ghost in the Shell. Dan kurasa, ibarat monster yang umumnya tidak berparas elok, demikian juga apartemen ini. Jika dikombinasikan dengan suasana dan aromanya, apartemen ini lebih cocok disebut kumuh daripada estetik. Tetapi, balik lagi, seperti monster yang dikagumi orang karena ukurannya yang tidak biasa, apartemen ini juga begitu. 

Warga lokal menjadikan area terbuka di tengah ini sebagai ruang komunal
Mengabadikan potret diri pada bangunan ikonik Hong Kong

Main-main ke apartemen Gading Nias atau Green Park View saja aku sudah mengomel dan mengelus dada sembari berdoa dalam hati jangan sampai aku tinggal di lingkungan macam begini, setelah melihat Monster Building, aku malah jadi berpikir makin keras. 

Dengan lahan yang makin terbatas dan manusia yang makin banyak, apakah memang satu-satunya solusi bagi masyarakat urban ke depannya adalah apartemen seperti monster building?

Kalau pun iya, kuharap pemerintah berguru pada Singapura yang mampu menciptakan apartemen HDB yang lebih layak huni dan nyaman dipandang mata. 

2 pemikiran pada “Si Kumuh yang Memikat Mata

Tinggalkan komentar