Ambon. 

Ini nama kota. Ia terasa asing tapi juga dekat. Pendeta di gerejaku berasal dari Ambon, lalu sering kudengar mamaku menyebut-nyebut varietas pisang yang biasa disebut ‘pisang ambon’. Tapi, bertandang ke Ambon jauhlah dari kenyataan hidupku, orang Bandung yang sedari orok sampai dewasa berkutat di pulau Jawa. 

Sampai akhirnya di Juli 2023, aku diutus untuk melaksanakan proyek kantor ke kepulauan Maluku. Pesawat berangkat pk01.30 dini hari. Sejujurnya aku benci jam keberangkatan yang kurang saleh seperti ini. Mengudara jam setengah dua subuh artinya aku sudah harus sampai di bandara setidaknya jam setengah 12 untuk proses check in… dan artinya pula, jam setengah sebelas sudah harus berangkat dari rumah.

Tak ada jeda waktu yang proporsional untuk tidur layak. Di ruang tunggu bandara, kubaca buku sembari kuamat-amati para manusia. Ada bapak tua yang mendengkur sambil duduk, wanita muda yang serius dengan tontonan di gawainya, petugas toilet yang selalu tersenyum menyapa orang-orang yang hendak pipis. Dilihat dari penuhnya ruang tunggu ini, kuyakin penerbangan malam ini akan full pax. 

Suasana terminal 2 Bandara Soetta Cengkareng.
Penerbangan menuju timur Indonesia umumnya berangkat di pagi buta.
Penumpang antre menuju kabin pesawat.
Proses antre mengantre ini memakan waktu bisa 30 menit.

Pasca pandemi, dunia penerbangan Indonesia belum sepenuhnya pulih seperti pra-2020. Pesawat-pesawat banyak yang dikembalikan ke lessor, alhasil harga tiket pun melambung tinggi. Penerbangan selama 180 menit ini kutebus dengan harga hampir 3 juta sekali jalan di kelas ekonomi Batik Air yang tak lagi mengusung konsep full service. Hanya ada tiga maskapai yang saat itu (Juli 2023) melayani penerbangan langsung menuju Ambon: Batik Air, Citilink, dan Garuda Indonesia. Hanya Garuda yang jam berangkatnya lebih nyaman, 9 pagi. Sedangkan si Batik dan Citilink, sama-sama di setengah dua subuh.

Meskipun rasa antusias terbilang tinggi, tapi capek memang tak terhindarkan. Ketika panggilan boarding dilakukan, penumpang menyemut lewat tangga sempit, lalu antre ke dalam bus yang mengantar semua penumpang sampai di tepi tarmak. 

Di dalam kabin pesawat suasana suntuk pun menyeruak. Pramugara-pramugari memang telah bersolek, tetapi raut lelah karena begadang tak bisa dimusnahkan. Mereka tersenyum sesuai standar, mempertobatkan penumpang ngeyel yang asal duduk tanpa mengindahkan nomor kursi, dan menaikkan koper-koper yang kuyakin beratnya melampaui batas bagasi kabin 7kg. Capek juga ya jadi mereka, aku membatin. Kala penumpang sedang enak-enaknya tidur, mereka harus menggerek troli berisi air mineral dan kue-kue untuk dibagikan. 

Nah… kue-kue ini agak membuatku kaget. Terakhir kali aku menaiki Batik Air adalah Agustus 2015. Kala itu Batik Air mengaku diri sebagai maskapai layanan penuh, berkompetisi head to head dengan maskapai pelat merah: Garuda Indonesia. Alhasil, pelayanan buat penumpang pun bisa kusebut jempolan. Di penerbangan Jakarta-Manado PP, aku mendapatkan makanan berat dan dimanjakan dengan layar hiburan yang menyala. Sekarang, semua itu kenangan belaka. Batik Air telah turun kelas mengikuti saudara-saudaranya di sesama Lion Group. Nasi panas diganti sebungkus roti. Jus dan aneka minuman diganti air mineral kemasan. Layar yang harusnya nyala dan menyajikan beragam hiburan menjadi mati total. Tiga jam lebih mengudara, hiburannya hanya tidur atau bengong. 

Selepas 2 jam 30 menit durasi penerbangan, seberkas cahaya jingga mulai tampak dari balik cakrawala. Aku sudah memasuki wilayah Indonesia timur yang durasi waktunya lebih cepat dua jam daripada Jakarta. Deru mesin mulai melembut. Ketinggian pesawat perlahan turun. Di balik jendela, kulihat gumpalan awan menggantung di atas Lautan Banda yang dikenal sebagai laut terdalam di Nusantara. Begitu tenang. Tak tampak ada kerut-kerut ombak, hanya kolam biru yang teramat luas. 

Matahari terbit di atas Laut Banda.
Langit mulai tampak terang setelah pesawat meninggalkan langit Sulawesi

Pesawat menurunkan ketinggiannya dari 35 ribu kaki.
Perlahan tampak awan-awan tipis yang menggantung menutupi segara.

Pesawat semakin dekat dengan lautan. Sejurus kemudian, brakkk. Roda belakang menghentak aspal landasan. Spoiler di kedua sayap terbuka, menghasilkan gaya dorong yang menentang laju pesawat. Jika spoiler ini gagal atau berfungsi terlalu lambat, mungkin nasib pesawatku akan seperti penerbangan Garuda dengan nomor GA-200 yang overrun di Yogya—keluar dari landas pacu, lalu terbakar. Tapi, syukurlah, tak ada yang nahas terjadi. Rem pesawat bekerja kuat, bersinergi dengan reverse-thrust yang dikeluarkan dua mesin di sayap. Proses mendarat ini terasa agak menegangkan karena di dalam kabin tubuh seperti terlempar ke depan. Dengan landas pacu 2,500 meter, pesawat dapat berhenti dengan selamat di Bandara Pattimura, Ambon. 

Di balik tubuhku yang penat karena tak tidur sepanjang malam, terbitlah rasa gembira di hati. Ini kali pertama aku bertandang ke kepulauan Maluku. Bukan untuk liburan, tapi untuk misi mulia menyambangi desa-desa tak berlistrik. Kuarahkan kamera ponselku, cekrek. Senyum merekah membaur dengan kantung mata yang menghitam. 

Ambon jadi pembuka dari petualangan super seru selama seminggu. 

Sumringah! Selamat datang untuk pertama kalinya di Pulau Ambon!

2 pemikiran pada “Mengudara Menuju Ambon

  1. Haha ya beberapa kali terbang ke Indonesia timur jamnya juga lewat tengah malam begini. Tapi sebagai anak daerah aku ada senengnya. Dari Palembang bisa pake pesawat terakhir, sampe Jakarta biasanya jam 9an malam, dan nunggu tengah malamnya gak begitu lama lagi.

    Begitu sampe pesawat biasanya langsung tidur. Bangun udah tiba di kota baru. Kangen juga terbang lagi ini 🙂

    1. Kalau udah liat sunrisenya seneng sih, kayak waahhh aku ke timur haha.

      Tapi jelang siang di hari ketibaan, badan lemasnya nggak bisa dikibulin. Butuh segera istirahat supaya besoknya jadwal lancar.

Tinggalkan komentar