Ratusan Perjalanan dan Gulatan Perasaan yang Telah Berbeda

Sejak aku diangkat menjadi koordinator alias kepala departemen, banyak cerita pun terbit. Kali ini, aku tak lagi sendirian dalam mengerjakan semua tugas-tugas rutin. Pada tahun 2023, timku pun lengkap dengan hadirnya tiga orang yang masing-masingnya berperan sebagai desainer, copywriter, dan videographer. Dengan lengkapnya tim kami, sebagai koordinator aku bisa lebih luwes dalam menggagas ide-ide proyek baru yang puji syukurnya disambut timku dengan semangat.

Ide baru yang kugagas dan kami implementasikan per tahun 2023 ini adalah memproduksi tiga episode video sinematik yang isinya cerita kesaksian dari anak-anak muda yang dalam karya yang digelutinya, mereka menemukan dan menikmati kehadiran Tuhan.

“Ini ada satu sosok pendeta muda, namanya Jalu,”kataku ke timku yang disambut dengan tatapan serius. “Tapi, dia tinggalnya jauh, di Boyolali. Gimana?”

“Gas aja sih kak, ayo berangkat…” jawab mereka

Tanpa tedeng aling-aling, ToR segera kubuat, narasumber pun kukontak. Dalam sehari kesepakatan pun jadi dan pada hari yang ditentukan kami pun berangkat ke Boyolali.

Dua hari syuting dimulai dari jam 3 subuh sampai 9 malam cukup untuk menumbangkan fisik kami. Maka, untuk perjalanan pulang ke Jakarta kupilih naik kereta api Senja Utama Solo yang kelasnya ekonomi premium. Semakin umurku naik semakin sulit rasanya untuk menaiki kereta ekonomi subsidi yang penuh petualangan itu–dengkul beradu dungkul, duduk tegak 90 derajat, dan AC yang kadang panas. Bukan aku jadi anti terhadap kelas merakyat, tetapi dengan tuntutan pekerjaan yang makin banyak, menghabiskan sembilan jam duduk tegap bersilaturahmi dengkul di kereta berkursi tegak akan berefek samping waktu-waktuku di kantor tidak produktif lantaran sakit punggung.

KA Senja Utama Solo di peron tiga menanti diberangkatkan tepat pada pk18:55 WIB

Kembali naik Senja Utama Solo

Perjalanan hari ini adalah kali pertama aku kembali naik kereta api Senja Utama Solo sejak tahun 2019.

Telah banyak perubahan terjadi dalam sewindu terakhir pada perjalanan KA Senja Utama Solo. Pertama, ia bermetamorfosis dari menggunakan kereta kelas bisnis menjadi kereta kelas ekonomi premium buatan tahun 2018. Kedua, jam keberangkatannya berubah mengikuti Grafik Perjalanan KA (Gapeka) terbaru.

Sebelum pandemi, KA Senja Utama Solo punya dua keberangkatan dalam sehari. Namun, sekarang KA Senja Utama Solo hanya berangkat dari Solobalapan pada 18:55. Setibanya di Jakarta, KA akan berganti nama menjadi Fajar Utama Solo yang berangkat lebih kurang satu jam setelah KA Kutojaya Utara. Untuk perjalanan malam dari Jakarta menggunakan rangkaian ekonomi premium dan eksekutif stainless dilayani oleh KA Mataram.

KA Senja Utama Solo kita menggunakan rangkaian stainless steel
Berhenti lima menit di Kutoarjo untuk naik turun penumpang
Delapan menit lebih di Purwokerto dimanfaatkan para penumpang untuk turun merokok barang sejenak.

Setelah mengarungi ratusan kali perjalanan kereta api, sebenarnya tak ada yang spesial di perjalanan kali ini. Hanya kereta yang berpindah dari satu titik ke titik lainnya, melewati kegelapan malam.

Namun, seperti pengantar yang kutulis di awal tulisan ini, perjalananku kali ini adalah dengan status yang berbeda. Dahulu aku naik kereta sebagai pelarian, sekarang sebagai pengabdian. Aku tak lagi menjadikan pergi ke luar kota sebagai pengalihan dari pekerjaanku yang kuanggap membosankan dan tak bermanfaat, tetapi sebagai suatu upaya untukku mengembangkan pelayanan dan pekerjaan yang diberikan padaku. Dan, kali ini aku tidak sendirian. Ada satu rekan kerja satu timku, Jonathan, sang mahasiswa yang tanpa sengaja mengirim lamaran untuk bekerja masuk di divisiku. Bersamanya, kami mencoba melakukan apa yang kami bisa untuk membuat konten-konten video yang tak cuma nyaman dilihat mata, tapi pesannya bisa tertancap di otak, lalu turun terserap sampai di hati.

Di atas KA Senja Utama Solo kami tidak banyak bicara karena suara deru roda beradu dengan rel cukup banter. Setelah kereta berangkat dari Solobalapan, kuajak Jonathan untuk makan di kereta restorasi. Kami memesan dua menu makanan dan minuman sembari menatap pemandangan gelap yang tersaji dari balik jendela.

“Kak, kok bisa dari dulu seneng keluyuran kayak begini? Tau-tau udah di Jogja, atau di mana deh…” tanya Jonathan dengan kepala menggeleng. Dia tahu sekelumit kisahku yang dulu sangat tidak betah dengan Jakarta, sampai-sampai setiap minggunya selalu melarikan diri ke kota lain.

“Hehehe. Bingung juga sih aku jawabnya. Tapi, mungkin itu bakatku,”kataku nyengir. “Makanya dari SMA dulu, temen-temenku selalu panggil aku bolang… bukan bocah petualang, tapi…bocah ilang.”

Berjam-jam mengarungi perjalanan lintas daerah tak jadi soal buatku. Bukan karena aku terlatih, tapi sedari dulu aku selalu senang untuk bepergian dan berjumpa orang lain… sebab yang kualami sendiri, aku pun dijumpai Tuhanku lewat banyak pengalaman hidupku yang pahit maupun manis… dan perjumpaan itu menghasilkan perubahan.

Aku memang bukan Tuhan, tetapi mungkin Dia sudi memakaiku untuk jadi kepanjangan karya-Nya. Siapa tahu dengan aku pergi dan berjumpa orang-orang, ada kesempatan untuk bertukar cerita dan menepuk pundak, yang mungkin saja dapat menolong seseorang menghangatkan harinya.

2 pemikiran pada “Ratusan Perjalanan dan Gulatan Perasaan yang Telah Berbeda

Tinggalkan komentar