Berhadapan dengan Preman Kuburan

Sejak pertengahan tahun 2022, ada rutinitas baru yang sering kulakukan setiap kali pulang ke Bandung, yaitu berjalan kaki dari stasiun sampai ke kompleks pekuburan Pandu. 

Kuburan ini letaknya tidak jauh, hanya sekitar dua kilometer dari stasiun. Rute yang dilalui pun menyenangkan. Aku selalu mengambil jalan-jalan kecil, dari Kebon Kawung menyeberang menuju jalan Bima, melewati lapangan Kresna, dan menyeberang jalan Pajajaran. Semua nama jalan di wilayah kecamatan Arjuna ini memang menggunakan nama-nama pewayangan. 

Ketika papaku meninggal pada April 2022 lalu, beliau sebelumnya berpesan ingin dikremasi saja, tapi aku tidak setuju. Di tepi ranjang rumah sakit, aku mengajukan keberatanku. 

“Kalau dikremasi, rasanya kayak hilang gitu aja, pih…” Kutahan air mataku sebelum lanjut berkata-kata.Ary sih berharapnya papi dimakamin, jadi nanti kalau Ary menikah dan punya anak, mereka bisa lihat siapa kung-kungnya.” Jujur, kalimat ini tidak mudah kuucapkan karena kutahu setelahnya perjumpaan ini akan jadi tinggal kenangan. “Mau ya? Dimakamkan aja. Ary suka datang ke kuburan kok, pih. Ini nggak bikin berat Ary kok,” tambahku lagi meyakinkan papaku yang dibalasnya dengan anggukan. 

Sebagian besar orang di komunitasku adalah warga Kristen. Dengan alasan biaya, lahan, dan kepraktisan, kebanyakan memilih berpesan untuk dikremasi saja setelah wafat. Tapi, sebenarnya ada alasan lain yang sering digaungkan tapi kala itu tidak kuanggap penting, yaitu kalau dikubur akan repot mengurus ini itunya. Belum lagi nanti banyak pungutan. Begitu kata orang-orang yang kukenal. 

Sepeninggal papa dan prosesi pemakamannya dilangsungkan, barulah kusadar bahwa alasan terakhir itu memang berangkat dari kenyataan. Setelah kubur papa selesai ditutup oleh cor semen, rombongan orang yang entah dari mana dan siapa ikut merangsek, menyamar seolah menjadi panitia kubur. Mereka berseru, “Saya yang bawain kardus bunga! Saya yang bantu berdiriin tenda! Bla bla bla…” Mereka meminta sejumlah uang dan mengikuti kami sampai ke parkiran. 

Bulan-bulan selanjutnya, tiap kali kudatang berziarah, aku diikuti keberuntungan. Mungkin lebih tepatnya karena aku sendirian dan berjalan kaki. Dari gerbang masuk pemakaman, tampak orang-orang duduk mengaso. Jika yang datang ziarah cukup banyak, mereka akan ngintil. Tapi, berhubung aku sendiri, mereka diam saja. Nanti saat tiba di makam, barulah ada satu hingga tiga orang memunculkan batang hidungnya. Mereka bersih-bersih. Kuberi masing-masing dua puluh ribu dan setelahnya segera kumohon mereka untuk pergi, sebab aku hanya ingin berduaan saja bersama papa. 

Namun, bulan kemarin, kejadiannya berbeda drastis. Apa yang dulu kualami pada proses pemakaman kembali dialami. Aku tiba ke pemakanan menaiki mobil kantor, karena sekalian sedang berdinas ke Bandung. Sedari parkiran, aku sudah diikuti oleh lima orang yang kesemuanya bukan tukang bersih-bersih kubur yang biasanya kujumpai. Aku sudah tahu bahwa mereka ingin meminta uang dan memang sudah kusiapkan sejumlah uang untuk mereka. 

Setelah tiba di makam, semua kompak membersihkan area pusara dari dedaunan. Tapi, bukan aura ketulusan yang terasa, lebih seperti kita sedang merasa terintimidasi. 

Wios a, entos bebersihna. Ieu parantos bersih, abdi ge teu lami di dieu” kataku dalam bahasa Sunda yang artinya: sudah mas, cukup bersih-bersihnya karena ini sudah bersih. Saya nggak akan lama di sini. 

Setelahnya kuberikan uang untuk mereka semua. Tapi…. memang niat hatinya ingin memalak, mereka tidak pergi. Waktu yang biasa kugunakan untuk duduk diam di tepi makam menjadi sangat tidak nyaman. Mereka memelototi sambil merokok dan mengobrol riuh. Belum sampai semenit aku diam, satu di antara mereka merangsek naik dan menunjukkan foto. 

“Ini saya yang bersihin makam bapak,” lalu mengoceh panjang, mempromosikan dirinyalah yang selalu merawat makam setiap hari. 

Kubalas dengan tenang, “iya, makasih a. Tadi kan aa udah saya kasih uang, boleh atuh saya ditinggal.” 

Apakah mereka menghilang? Tentu tidak, lanjut saja mengoceh. Memang tujuannya untuk mengusik dengan harapan si mangsa memberi lebih banyak. Tapi, aku tidak mau memberinya lagi. Enam puluh ribu sudah kukeluarkan dan itu sangat cukup hanya untuk menyingkirkan daun kering yang tak seberapa, dan….tak disingkirkan pun tidak mengganggu kekhusyukkan ziarahku. 

Hanya lima menit kuluangkan di makam, setelahnya aku berjalan lagi ke parkiran. Mereka tetap mengikuti dan mengoceh untuk meminta uang tambahan. 

Meminta uang jasa atas kebersihan adalah sesuatu yang wajar dan akan dengan senang hati kuberikan, juga kurasa orang-orang lain pun akan sependapat denganku. Tapi, apabila caranya adalah dengan pungutan liar seperti ini, tentulah jadi meresahkan. 

Pungutan liar di pemakaman memang bukan hal asing. Ada orang-orang yang mencari celah dalam dukacita untuk meraup untung. Pemerintah memang telah berupaya menertibkan dan ada beberapa saran untuk menyebutkan nama penanggung jawab makam, tapi saat di lapangan, semua usulan dan aturan jadi omong kosong belaka yang tak memiliki taring. 

Mendatangi orang yang sudah mati memang tidak memberikan dampak apa-apa bagi si mati, karena memang kita telah berbeda alam. Tetapi, bagi kerabat atau orang yang ditinggalkan, ziarah adalah proses untuk merawat memori dan melepaskan kerinduan yang tak akan mungkin berbalas. Seharusnya proses ini bisa dilalui dengan damai. 

Kudoakan agar para pemalak ini punya kehidupan yang baik, sehingga mereka tak harus memalak nafkah dari celah dukacita seseorang. 

Tabik. 

Senang bisa menjumpaimu kembali pada rumah peristirahatan abadimu.

11 pemikiran pada “Berhadapan dengan Preman Kuburan

  1. Premanisme bisa terjadi di mana-mana. Seperti makan malam di pantai Jimbaran Bali ada rombongan pengamen, selesai nyanyi saya kasih 20 ribu, eh dia ngomong ketemannya baru kali ini ada yang ngasih kurang dari 50 ribu. Ngeselin banget, udah ganggu datang tak diundang, dikasih uang malah bikin kesel. Btw turut berduka cita.

  2. Pe-er banget memang berhadapan dengan preman kuburan di Bandung. Aku tiap ke Pandu selalu saja ada yang mendadak muncul 2 – 3 orang tapi kupasang muka cuek. Kalo di Jakarta aman, gak maksa-maksa untuk bersih-bersih or nyiram ketika tidak diminta.

    1. Nah kak, aku dulu begitu. Waktu mampir ke makam tokoh-tokoh sejarah di Pandu mereka biasa aja, mungkin tahu kalau kita bukan keluarga dari almarhum ya.

      Kalau sekarang ke makam keluarga sendiri berasa banget diterornya :””)

      1. Aku dua tahun ini juga sering ke Pandu karena ada keluarga di sana. Biasanya aku ngantongin recehan 5rb 2-4 lbr yg sudah dilipat-lipat. kalo yang berlagak nyapu maksa minta, kukasih selembar. lebih sering sih gak kukasih wkwk

  3. Preman makam di Jabar dan Sumut sama kelakuannya, uda dikasih juga tetap merasa kurang nih.. saya pernah hbs ziarah lngsng diangkut lilin nya, hahaha
    Yg sabar saja, moga2 next year sdh gak ada lagi preman nya, sdh merantau jauh.
    Keep spirit, Ari!

Tinggalkan komentar