Memburu Cahaya Fajar di Lembah Sumbing – Sindoro

 

Gelap di angkasa belum sepenuhnya sirna. Di tengah udara nan dingin menusuk tulang, kami berkendara menuju Posong yang berlokasi di ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut. Kami sengaja mempercepat laju motor. Jika terlambat sedikit saja, maka kami akan kehilangan momen yang amat istimewakala sang bagaskara mulai menampakkan dirinya.

Jam setengah empat subuh kami sudah berkemas. Bermodalkan dua lapis jaket dan sarung tangan, kami berkendara sepeda motor menembus angin gunung yang membuat gigi bergemertak. Tujuan kami pagi itu adalah ingin menikmati prosesi kembalinya mentari dari peraduan. Dari kota Temanggung, kami melaju melewati jalanan ke arah Wonosobo. Setelah melewati kecamatan Parakan, jalanan yang semula cukup lurus mulai berkelok dan menanjak. Tepat di sebuah tikungan setelah jembatan Sigandul, ada sebuah papan kecil bertuliskan “Posong”. Kami mengurangi laju motor, memberi lampu isyarat, dan berbelok ke kanan.

Garis jingga tampak di cakrawala
Menyapa gunung Sumbing

Jalanan yang semula aspal berubah menjadi jalanan batu. Di kanan dan kiri kami terhampar ladang tembakau nan luas. Namun, karena langit masih gelap, kami tak dapat melihat dengan jelas isi ladang itu. Untuk tiba di spot utama Posong, kami membutuhkan waktu berkendara sekitar 15 menit dari pos masuk pertama. Di perjalanan, rupanya kami tidak sendirian. Ada serombongan mahasiswa dari Magelang dan Yogyakarta yang turut serta untuk memburu cahaya fajar. Mereka begitu ribut. Beberapa pengendara motor wanita tak berani untuk mengemudikan motornya. Sehingga mereka berhenti sejenak dan membiarkan para prianya untuk memegang kemudi.

Sejatinya, di belahan mana pun di dunia ini, matahari selalu terbit dan terbenam setiap harisebuah proses alam rutin yang seringkali kita anggap biasa saja. Akan tetapi, ketika kami berada di Posong, detik-detik saat cahaya fajar mulai muncul adalah momen yang amat dinanti. Ketika kami tiba di spot utama, jam masih menunjukkan angka 5 kurang 15. Kami amat beruntung. Selain tidak terlambat, langit juga tampak begitu cerah. Kerlap-kerlip bintang masih tampak di langit, pertanda pagi ini cuaca akan cerah.

Memasuki pukul lima, semburat jingga mulai tampak di balik gunung yang terlihat gelap. Lembah Posong terletak tepat di antara dua gunung, Sumbing dan Sindoro. Kedua gunung inilah yang membuat nuansa fajar di Posong terasa amat istimewa. Menit demi menit, warna jingga itu semakin menyala terang. Semburat cahayanya mulai mengusir kegelapan. Perlahan, kami dapat melihat dengan jelas hamparan kebun tembakau yang berwarna hijau. Sementara itu, gunung Sindoro dan Sumbing pun mulai menampakkan keanggunannya. Dari titik kami berdiri, gunung Sindoro terasa seolah begitu dekat dan menggiurkan untuk disambangi. Tapi, tentu untuk menggapai puncaknya masih membutuhkan waktu yang cukup lama dan jarak yang jauh.

Gunung Sumbing berdiri kokoh
Gunung Sindoro yang terasa begitu dekat. Puncaknya diselubungi awan tipis

Proses matahari terbit yang berlangsung dalam hitungan menit ini terasa begitu berharga untuk dilewatkan. Di kota besar, momen fajar seringkali dianggap bukan sesuatu yang istimewa. Syahdunya prosesi matahari terbit telah digantikan dengan suara bising kendaraan, asap knalpot yang menyeruak, dan beban pikiran yang dimulai sejak bangun dari tidur. Jika hari-hari biasanya kami segera menatap layar ponsel setiap pagi, kali ini kami menatap karya tangan Pencipta yang begitu agung. Suasana begitu teduh. Tak ada suara bising kendaraaan, ataupun klakson yang saling bersahutan memekikkan telinga. Sembari angin dingin bertiup lembut dari puncak-puncak gunung, kami masih bisa mendengar suara-suara hewan kecil seperti jangkrik.

Jam setengah enam lebih sepuluh, langit telah benderang. Kelap-kelip bintang yang sedianya menghiasi malam telah memudar digantikan oleh cahaya matahari yang lebih perkasa. Untuk mengusir udara dingin yang menyekap tubuh, kami menepi sejenak di sebuah warung kopi milik warga setempat. Segelas teh panas, dan aneka gorengan hangat menjadi kudapan yang paling nikmat untuk disantap kala itu. Betapa tidak, hidangan sederhana ini ketika disantap di depan pemandangan alam yang amat indah, rasanya begitu enak di mulut.

Berada di Posong di kala fajar kembali mengingatkan kami bahwa pagi hari adalah sebuah momen yang teramat istimewa. Ketika mentari hadir, segala kegelapan yang menyelebungi pun sirna. Sinar sang surya mampu menerangi setiap jengkal tempat tanpa terkecuali. Sinarnya begitu hangat, seolah memeluk tubuh kami yang serasa ingin membeku.

Sepasang kekasih menikmati kemesraannya di tengah hamparan ladang tembakau

Kini, jika kita mengetik kata “Posong” di mesin pencari Google, ada begitu banyak ulasan dan cerita tentang tempat ini. Masing-masing pengunjung memiliki cara mereka sendiri untuk menikmati Posong. Ada yang berusaha mengabadikan kemesraan di hadapan gunung Sindoro. Ada yang rajin memotret sana-sini. Namun, tetap saja, ada pula yang pandangannya tetap tertuju ke layar ponsel. Setiap respons itu adalah pilihan masing-masing pribadi. Kami menikmati fajar pagi di Posong dengan cara duduk tenang, menyeruput teh, dan menyantap gorengan. Tiga aktivitas sederhana yang kami lakukan di pagi ini adalah cara kami untuk mensyukuri berkat Pencipta.

 

4 pemikiran pada “Memburu Cahaya Fajar di Lembah Sumbing – Sindoro

    1. Iyap. Tapi walaupun kedinginan, perjalanan ke sana tetap worthed sih.

      Oh ya, krna tingkat kunjungan wisatawan tinggi, sampai akhir tahun ini Posong akan ditutup untuk proyek revitalisasi.

  1. Cantik sekali.. Pernah singgah disana menikmati lembah diatanra sindoro-sumbing dalam perjalanan menuju dieng, wonosobo. 🙂

Tinggalkan komentar