Melewatkan Tengah Malam Bersama Pak Gojek

Jam sudah lewat tengah malam dan aku masih berkeliaran di jalanan Jakarta yang masih belum sepi juga. Badan ini lelah, ingin segera tiba di kos. Sudah tujuh jam lebih aku terjebak macet di jalan tol.  Supaya cepat, lebih baik naik Gojek saja deh, pikirku.

Setelah order di aplikasi, tak lama pengemudi Gojek pun datang. Di aplikasi tertera namanya “Kholiq”. Dari penampilannya, dia sudah bapak-bapak. Rambutnya sedikit beruban dan ada kumis tebal di bawah hidungnya.

“Pak Aryanto yang ke Sumur Bor, ya?”

“Iya pak, saya naik ya.”

Motor yang digunakan malam itu adalah bebek matik. Sepertinya motor ini jarang dicuci karena kusam dan penuh debu. Tapi aku tidak peduli karena yang ada dalam pikiranku hanyalah ingin segera mendaratkan badan di kasur.

“Asli mana pak?” tanyaku memulai pembicaraan.

“Saya asli Jakarta, kalau mas?” 

“Aku Bandung pak, ini abis mudik.”

Pertanyaan pembuka ini sering jadi pertanyaan pamungkas. Kebetulan Pak Kholiq ternyata adalah orang yang ramah, jadi obrolan pun berkembang. Dari yang awalnya cuma basa-basi menjadi sesi curhat tersendiri.

Saat kami telah melintasi fly-over Pesing, tiba-tiba motor terasa goyang.

“Wah, kayaknya harus berhenti sebentar nih mas.”

Kami menepi. Pak Kholiq memintaku turun dan mengecek ban belakang.

“Wah pak, bocor!”

Apes. Jam setengah satu pagi, ban motor bocor di jalan Daan Mogot. Mana ada tukang tambal ban buka jam segini? Aku membatin. Maksud hati ingin naik Gojek supaya cepat sampai di kos, eh ini malah bannya bocor.

Sempat terpikir saat itu untuk mengikhlaskan saja biaya ojek yang sudah kubayar itu, lalu mencari taksi atau ojek lain supaya bisa cepat sampai ke kost. Tapi, hati kecilku berkata lain. “Coba bayangkan kalau kamu adalah si bapak Gojek. Kan ban bocor ini bukan maunya dia.”

Hmmm.. pikiran lain pun datang. Aku baru satu bulan hijrah ke Jakarta. Kalau lihat berita, kriminalitas itu di mana-mana bisa terjadi. Tapi sekarang aku ada di pinggir jalan tengah malam, mencari tukang tambal ban yang entah akan ketemu di mana.

“Ya sudah pak, kita jalan aja sampai nemu tukang tambalnya ya pak,” ucapku.

Kami pun berjalan. Aku berjalan lebih dulu sementara Pak Kholiq menuntun motornya di belakangku.

Sekitar satu kilometer kami berjalan, ada sebuah tukang tambal ban yang masih buka. Sementara motor diperbaiki, kami mengobrol ngalor-ngidul, dari A sampai Z. Pak Kholiq sudah bercucu tiga.

Malam itu, rencananya Pak Kholiq akan segera pulang setelah selesai mengantarku. Dia sudah lelah karena sepanjang siang hingga malam dia sudah narik. Tapi, harapannya untuk pulang cepat juga pupus karena ternyata ban motornya yang bocor.

“Mas, saya jadi gak enak nih, maaf ya jadi lama,” ucapnya.

“Loh kok minta maaf pak, kan bocornya bukan bapak yang mau, hehe.” Setelah setengah jam diperbaiki, ban motor itu sembuh dan kami melanjutkan perjalanan.

Setibanya di depan gang kostku, aku menyelipkan beberapa rupiah tambahan sebagai apresiasiku kepada Pak Kholiq, juga untuk membayar biaya tambal ban tadi. Kemudian kami berpamitan.

Sebuah pelajaran untuk menjadi penumpang yang baik 

Jika malam itu aku mencari Gojek lain, tentu itu bukan tindakan yang salah, apalagi saat badan sudah lelah. Tapi, aku sendiri pun bertanya-tanya mengapa hari itu aku memilih untuk berjalan kaki menemani Pak Kholiq di Jakarta yang konon katanya mengerikan, apalagi di tengah malam!

Seharusnya malam itu aku lebih takut pada kriminalitas Jakarta dan membiarkan pikiran buruk menguasaiku. Tapi, itu semua tidak terjadi. Kejadian malam itu membuktikan bahwa di kota yang dipenuhi imaji akan kekejaman tanpa bela rasa ini, kemanusiaan dan kebaikan masih ada.

Perjalananku berjalan kaki di tengah malam bersama Pak Kholiq pada akhirnya sama-sama menguatkan dan menghibur hati. Malam itu aku kembali yakin dan percaya bahwa kebaikan tidak akan pernah dikalahkan oleh kejahatan. Rasa khawatir yang berlebihan itu tidak pernah baik, dan jangan pernah biarkan itu mematikan kebaikan yang ada dalam hati kita. Waspada memang perlu, tetapi tetap buka pintu hati dan selalulah berdoa. Aku percaya bahwa Tuhan ambil bagian dalam setiap niatan tulus yang kita perbuat.

Ketika aku merenungkan kembali peristiwa itu, aku teringat akan sebuah ayat yang dikatakan oleh Guru Agungku. “Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.”

Malam itu aku belajar menjadi penumpang yang baik. Menjadi penumpang yang menemani sang Pak Kholiq berjalan kaki di tengah gulita malam.

Daan Mogot, 2 Januari 2017

 

 

Tinggalkan komentar