Aku dan Kereta Api

 

Sewaktu kecil dulu, badanku kurus kering karena susah makan. Badanku hanyalah tulang yang berbalut kulit, nyaris tanpa daging. Untuk menggenjot berat badanku, segala cara dilakukan ibuku untuk membuatku mau makan walaupun hanya sesuap. Mulai dari memaksaku minum susu dan vitamin, hingga mengajakku jalan-jalan.

Ibuku begitu berambisi untuk membuat badanku lebih berisi. Pernah suatu ketika, dia membawaku ke seorang dokter untuk diperiksa apakah ada sesuatu yang aneh di balik kurus keringnya badanku. Waktu itu, dokter memvonisku mengidap penyakit TBC. Sontak, kabar itu membuat kedua orangtuaku kaget. Selain kaget karena tidak percaya, obat yang harus dikonsumsi pun harganya teramat mahal. Satu dua bulan berlalu, ibuku merasa ada yang janggal dengan diagnosis dokter itu dan membawaku pergi ke dokter spesialis paru-paru lainnya. Setelah dirontgen sebanyak 3 kali, akhirnya disimpulkan bahwa diagnosis dokter yang pertama adalah sesat. Aku tidak mengidap TBC sama sekali. Badanku yang kurus kering memang adalah takdir, bukan penyakit apalagi kutukan.

Walaupun kurusku adalah kurus yang sehat, tapi ibuku tetap ingin supaya badanku lebih berisi. Hampir setiap sore, dia akan mengajakku pergi ke pinggiran rel kereta api. Sembari aku kegirangan melihat kereta hilir mudik, ammm, dia menyuapiku dan aku tidak menolak. Rupa-rupanya, kebiasaan menyuapiku makan di pinggir rel kereta api itu menjadi cikal bakal kesukaanku pada kereta hingga saat ini. Sebenarnya, jika dahulu keluarga kami memiliki kondisi ekonomi yang baik, mungkin duduk di pinggiran rel Stasiun Ciroyom tidak akan jadi opsi untuk merayuku supaya mau makan. Bisa saja ibuku akan membawaku bermain ke mal, naik mobil-mobilan, atau membelikanku aneka mainan supaya aku mau menurut. Tapi, entah mengapa, aku sendiri pun tidak pernah menolak ajakan ibuku itu. Malah, aku selalu melonjak kegirangan ketika mendengar apapun yang berbau kereta api.

Jika melihat kereta dari luar saja mampu membuatku kegirangan, maka naik kereta api mampu membuatku nyaris kesetanan. Setiap kali bepergian ke luar kota naik kereta api, satu minggu sebelumnya aku sudah tidak bisa tidur. Pikiranku terus membayangkan seolah-olah aku sedang duduk di atas gerbong, dengan kepala yang menatap ke jendela kereta. Di hari keberangkatan, aku girang bukan main. Tapi, di hari kepulangan, aku sedih karena tidak tahu kapan lagi akan punya kesempatan untuk naik kereta.

Gimana kalau nanti jadi masinis ya? Pikirku. Selama duduk di SD, ketika anak-anak lain bercita-cita ingin menjadi dokter, polisi, guru, artis, ataupun orang kaya, aku malah bercita-cita ingin menjadi seorang masinis. Dalam benakku, betapa nikmatnya jadi seorang masinis. Tiap hari bisa bersama-sama dengan kereta api, berkeliling pulau Jawa, plus dibayar pula! Tapi, ketika aku bercerita akan cita-citaku itu, teman-temanku dan keluargaku malah tertawa. Katanya, tidak mungkin aku jadi masinis. Seharusnya aku memimpikan cita-cita lain yang lebih besar dan menghasilkan uang lebih banyak. Sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, keluargaku menaruh harapan lebih supaya kelak aku bisa hidup mapan dan memulihkan kondisi keluarga.

Impianku zaman SD itu harus berbenturan dengan realita. Entah itu orangtuaku, atau juga lingkungan sosialku, mereka menganggap mimpi dan masa depan itu haruslah sesuatu yang prestisius dan bergengsi. Akibatnya, lahirlah generasi-generasi yang memiliki mimpi monoton yang ujung-ujungnya diukur berdasarkan duit dan duit. Mengejar duit memang tidaklah salah, tetapi terkadang pengejaran akan duit itu malah akan membuat seseorang menjadi egois. Akhirnya, sama seperti anak-anak lainnya yang kalau ditanya cita-citanya apa langsung menjawab “jadi dokter”, aku pun demikian. Tapi, alih-alih ingin menjadi dokter karena ingin menyelamatkan orang, waktu itu aku memandang profesi dokter sebagai sebuah pekerjaan yang “subur” dan menjanjikan.

Seiring waktu dan musim hidup yang berganti, demikian juga dengan cita-citaku yang turut berubah seiring perubahan jenjang pendidikan. Jika di SD aku ingin menjadi seorang masinis, di masa SMP aku malah ingin jadi seorang sopir bus malam karena terobsesi dengan permainan balapan mobil. Barulah di SMA aku memantapkan diri untuk mengejar cita-cita menjadi seorang dokter. Rajin belajar dan masuk program IPA. Tapi, sekali lagi cita-cita itu harus berubah ketika kondisi finansial tidak memungkinkanku untuk mengambil kuliah di bidang kedokteran.

Sekalipun cita-citaku berubah-ubah, tapi kesukaanku pada kereta api tidak pernah meluntur. Sekarang, aku bekerja sebagai seorang editor, sangat jauh dari cita-cita jaman SD yang ingin jadi pengemudi ular besi. Tapi, walaupun tak menjadi masinis, setidaknya aku selalu jadi penumpang setia kereta api. Setiap bulan aku selalu naik kereta api minimal dua kali untuk pulang pergi Jakarta ke Bandung, di mana keretaku melewati rel yang belasan tahun silam aku berdiri di sampingnya.

Kereta api membuat imajiku terbang kembali ke masa-masa dahulu, sebuah masa di mana aku begitu berbahagia. Masa di mana kau tidak peduli dengan bobot tubuhku yang kurus kering dan masih buta akan betapa hidup ini sarat akan persoalan. Sekarang, aku tetaplah aku yang kurus, walau tak lagi kurus kering seperti orang-orangan sawah. Pekerjaanku yang kutekuni sekarang selain membuat pengetahuan dan dompetku terisi, juga mengisi bobot tubuhku. Masinis dan editor tentu jauh berbeda, tapi inilah pekerjaan yang sama-sama mengisi hidup dan bertualang. Jika masinis menjalani harinya dengan bertualang di atas rel, aku menjalaninya dengan bertualang di atas kata-kata.

 

4 pemikiran pada “Aku dan Kereta Api

  1. Pertama kali naik kereta api perjalanannya +/- 13 jam dari pasar senen ke surabaya, tidur ala kadarnya, jalan – jalan dari gerbong ke gerbong untuk merenggangkan kaki. Tapi seru…
    Biarpun di kampung sendiri ada kereta api tak pernah dinaikin, naik kereta apinya di kampung orang…

  2. Pengalaman masa kecil saya tidak terlalu banyak dg kereta api. Hanya sekali naik kereta ke jakarta di ajak bapak. Namun seiring waktu kecintaan terhadap kereta api itu tumbuh. Dan fakta bahwa kakek saya yg seorang mantan pegawai PJKA, dan rumah masa kecil saya adalah bekas stasiun pertama di Indonesia, Stasiun NIS Samarang. Mungkin saya ditakdirkan berjodoh dg kereta api.

Tinggalkan komentar