Mengapa Harus Membeli kalau Tidak Butuh?

Hari itu Minggu sore. Seorang bocah lelaki menghampiriku dengan baju sedikit basah karena kehujanan. Di tangan kanannya, dia memegang dua kemasan tissue, sedangkan tangan kirinya menggenggam plastik hitam besar yang isinya barang-barang jualannya. 

“Kak, dibeli tissuenya, 5 ribu satu.” 

Saat itu langit masih gerimis. Alih-alih menjawab permintaannya dengan ya dan tidak, aku malah balik bertanya.

“Kok hujan-hujanan dek?”

Dia tidak menjawab, hanya tersenyum tipis kemudian menunduk.

Kuambil dua buah tissue dari tangan kanannya. Lalu, kuajak dia duduk sejenak di kursi kosong sebelahku seraya menunggu hujan. Bukan sebuah kebetulan, saat itu aku membawa serta aneka camilan yang akan kubawa ke kantor di Jakarta. Kusodorkan kantong plastik berisi aneka camilan itu padanya.

“Kamu mau yang mana? Nih ambil yang kamu mau.”

Tanpa bertanya lebih lanjut, dia mengulurkan tangannya ke dalam kantong dan mulai memilih makanan mana yang hendak dia ambil. Pilihannya jatuh pada sebungkus astor cokelat. Kemudian dia memasukkan astor itu ke dalam kantong plastik hitam yang dibawanya.

“Ambil satu lagi gih, tadi kan yang manis, sekarang ambil yang asin.”

Dia pun kembali memasukkan tangannya ke dalam kantong penuh camilan itu. Dia mengambil seplastik kerupuk pedas. Ekspresinya pun berubah, dari yang semula bernada lesu, sekarang ada senyum lebar tersungging dari wajahnya hingga akhirnya kami menjadi akrab dan mengobrol.  

Ditemani hujan yang rintik, bocah itu bercerita tentang keluarganya. Dia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Setiap sore dia berjualan tissue di sepanjang jalan Cihampelas. Tak peduli terik maupun hujan, yang dia tahu hanyalah berjualan tissue untuk membantu orangtua dan adik-adiknya. Ketika ada orang yang membeli jualannya, dia akan berterima kasih, namun apabila ada orang-orang yang menolak jualannya, dia akan berlalu dan pergi kepada orang yang lain, demikian seterusnya.

Ketika aku melihat senyum lebar di wajah bocah kecil itu, hatiku yang semula hambar berubah menjadi penuh rasa. Sejenak aku lupa tentang uang kos yang harus kubayar di awal bulan nanti. Senyum polosnya menegurku. Dia mampu tersenyum penuh syukur ketika tangannya menggenggam dua plastik camilan yang harganya tidak seberapa.

Ketika hujan akhirnya reda, kusodorkan selembar uang dua puluh ribuan kepadanya.

“Ambil kembaliannya buat kamu, dek.”

Pertemuan sore itu membuatku merenung sepanjang jalan menuju Jakarta. Di tengah kemacetan jalan tol yang baru berujung di Cikarang, wajah bocah tadi terus terbayang. Aku membayangkan bagaimana keluarganya, juga masa depannya kelak. Bocah itu menyadarkanku kalau semua di dunia ini relatif. Kekayaan seringkali tidak bisa diukur dari deretan angka di rekening, tapi dari seberapa puas diri kita dengan apa yang ada.

Aku mungkin tidak membutuhkan dua kemasan tissue itu, tapi aku butuh untuk belajar memberi. Dari memberi, aku pun diberi. Selembar uang yang kuberikan kepadanya bisa jadi memberi sukacita bagi dia dan seisi rumahnya.

Aku teringat akan perkataan sang Guru Agung yang menjadi panutanku. “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, apa saja yang telah kamu lakukan kepada seseorang yang terkecil dari saudara-saudara-Ku ini, kamu telah melakukannya kepada-Ku.”

Jika saat itu sang Guru Agung ditawari tissue oleh bocah kecil tadi, mungkin dia akan melakukan hal serupa sepertiku. Atau, bisa jadi juga dia akan melakukan lebih dari sekadar yang kulakukan, yaitu memberi kelegaan dan sukacita yang abadi.

Bandung, 26 Maret 2017

beli2

Tinggalkan komentar