Dua Pejalan Nekat—Disatukan Karena Tekad!

 

Kami tak terlalu sering bertemu, seingatku hanya tiga kali pertemuan yang pernah kami lakukan. Dua kali di Bogor dan satu kali di Yogyakarta. Tapi, jarangnya bertemu bukan menjadi jurang yang membuat pembicaraan kami tidak nyambung, malah tiap kali bertemu mulut kami seolah tak mau berhenti bicara tentang pengalaman dan mimpi kami masing-masing.

Hari Minggu yang lalu ketika hujan baru selesai mengguyur bumi Yogyakarta kami bertemu di Stasiun Tugu. Satu jam sebelum keberangkatanku kembali ke Ibukota Jakarta, seorang kawan sesama backpacker bernama Hendry Sianipar datang menghampiri. Sejatinya kami berdua bukanlah teman dekat yang saling mengenal sejak lahir. Kami baru saling mengenal di tahun 2015, itupun dari pertemuan tidak sengaja!

Temanku ini tahu betul makna dari sebuah pertemuan sehingga dia rela menyempatkan dirinya untuk bertemu denganku barang sejenak. Jika hari itu dia tidak datang ke stasiun Tugu dan memilih untuk berkutat dengan kegiatannya, itu pun tidak masalah buatku, toh masih bisa bertegur sapa lewat media sosial. Tapi, jiwa seorang traveler-nya masih membara, dan memalingkan diri dari bertemu seorang kawan bukanlah naluri seorang traveler. 

Hari itu adalah pertemuan kami yang ke-empat sejak kali pertama bertemu. Waktu telah banyak berubah, dulu kami berdua masih mahasiswa namun kini sudah menyandang status sebagai pekerja, tetapi ada sesuatu yang belum berubah dari kami, yaitu naluri menjelajah. Di waktu pertemuan yang singkat itu kami bertukar cerita tentang keluh kesah dalam pekerjaan masing-masing, dan dalam keluhan itu terselip sebuah angan yang masih belum padam—sebuah harapan untuk pergi traveling mengelilingi dunia!

Sebelum berbicara lebih jauh tentang angan nan edan itu, ada baiknya aku ceritakan terlebih dahulu mengapa pertemuan kami malam itu, yang kurang dari 30 menit di Stasiun Tugu itu begitu berkesan.

Pertemuan di Buitenzorg 

Jakarta begitu membosankan, dan melewatkan akhir pekan di Ibukota adalah hal yang paling kutakuti! Itulah imaji tentang Jakarta yang tersaji di pikiranku selama masa Internship di sebuah lembaga riset pada Agustus 2015 silam. Di salah satu akhir pekan bulan Agustus, aku memutuskan untuk pergi ke Bogor supaya pikiran kembali jernih dari hiruk-pikuk Jakarta. Tapi, berhubung waktu itu aku adalah mahasiswa berkantong tipis maka menginap di hotel bukanlah pilihan yang baik.

Dengan modal aplikasi Couchsurfing, aku memasang status bahwa aku akan pergi ke Bogor pada tanggal sekian dan berharap ada sesama couchsurfers yang berbaik hati untuk menyediakan tumpangan. Satu dua hari berlalu dan ada satu tanggapan dari seorang mahasiswa Bogor yang dengan senang hati bersedia menyambutku.

Singkat cerita kami bertemu di Stasiun Bogor lewat tengah malam, tepatnya pukul 00:30! Dan, Hendry, seorang couchsurfers yang belum kukenal itu dengan setia menanti di depan stasiun. Aku pikir waktu itu seharusnya dia marah dan memilih pulang saja karena kereta yang kutumpangi dari Jakarta mengalami keterlambatan lebih dari tiga jam.

Tapi, itu tidak dia lakukan. Alih-alih marah dan pergi, dia menyambutku dengan hangat dan menunjukkan pertalian antar backpacker yang kuat tanpa memandang perbedaan. Malam itu seketika kami menjadi akrab—aku banyak berbicara tentang pengalamanku melakukan Sumatra Overland Journey selama satu bulan penuh, dia pun bersemangat menceritakan tentang rencana travelingnya menuju negara-negara Asia Tenggara.

Selepas pertemuan singkat itu kami kembali ke dunia masing-masing tetapi masih saling bertegur sapa lewat Facebook. Beberapa kesempatan setelah itu kami masih sempat bertemu, entah itu ketika aku datang ke Bogor, atau ketika dia mampir ke Yogyakarta. Setiap pertemuan kami habiskan dengan berbagi ide tentang rencana masa depan dan pemikiran-pemikiran kami yang agak di luar kebiasaan orang-orang umumnya.

Memanggul Ransel, itu sebuah kenikmatan

Setelah kami berdua melepas status mahasiswa dan hidup mencari uang secara mandiri, satu tekad yang belum berubah adalah tentang kenikmatan dari memanggul ransel. Seringkali kami merasa sedih tatkala melihat orang berjalan dengan memanggul ransel di punggungnya. Kami ingin sekali kembali menjadi backpacker, tetapi ada tugas dan tanggung jawab yang harus kami emban. Kami tak lagi bebas karena ada pekerjaan yang harus kami jalani dengan sepenuh hati.

Tapi, satu mimpi besar kami adalah kelak bisa pergi menjelajah banyak tempat di dunia. Tidak, kami tidak akan melakukan itu untuk memanjakan diri kami, tapi kami percaya kalau setiap perjalanan itu mengajari kami banyak hal-hal baru. Jika dahulu kami hanya mengurung diri dalam rutinitas harian sebagai mahasiswa, tentu kami tidak akan pernah bertemu dan bertukar pemikiran.

Sekalipun pekerjaan telah menjadi bagian dari hidup kami, tapi kami berusaha untuk seimbang. Ransel kami masih memanggil untuk dipanggul di punggung. Dan dalam beberapa kesempatan aku selalu menggunakan akhir pekan untuk pergi menjelajah karena kini bepergian tidak selalu harus merogoh kocek dalam-dalam selagi masih bisa menggunakan angkutan kereta api kelas ekonomi.

Dari perjalanan, kami mensyukuri perbedaan 

Kami tak dapat membayangkan apa jadinya kami jika kami tidak terbiasa untuk hidup dengan berbagai macam manusia, mungkin kami adalah orang yang anti dengan perbedaan. Setiap kali bertemu, kami selalu membahas banyak masalah-masalah sosial dan mengutarakan pendapat masing-masing. Sekalipun hobi kami sama-sama suka jalan, tetapi mengenai pandangan hidup, tentu ada yang berbeda dari kami.

Dia melihat diriku sebagai orang yang religius, sedangkan aku melihat dirinya condong sebagai orang liberal yang memiliki banyak sekali pemikiran-pemikiran yang mendobrak norma. Tetapi, itu adalah karunia! Perbedaan apapun bukanlah suatu ancaman, melainkan sebuah kesempatan untuk kami membuka wawasan. Kami memiliki pandangan yang berbeda tentang Tuhan, tetapi satu yang pasti adalah kami sama-sama manusia yang hidup di bumi.

***

Tak terasa telah 30 menit kami lewatkan dalam sebuah diskusi singkat namun penuh makna. Kereta yang membawaku kembali ke perantauan segera akan segera datang dan tibalah saatnya kami untuk undur diri.

Bermimpi itu gratis, jadi kami mau banyak bermimpi tentang banyak hal sembari berusaha mewujudkannya satu per satu.

________________

Yogyakarta, 26 Februari 2017

 

 

Tinggalkan komentar