Menyelundup ke Sabana Cibedug

Ketika Mas Adit mengajakku pergi keluyuran ke Bogor, kami tak punya tujuan yang pasti. 

“Pokoknya ketemu dulu, deh. Urusan ke mananya gampang,” itu prinsip kami. 

Setelah bertemu di Tajur, kami sepakat agenda pertama adalah check-in dulu ke penginapan di Ciderum, lalu lanjut ke makam prajurit Jerman. Yang menarik, setelah dua tujuan ini terpenuhi, Mas Adit menemukan spot yang jarang dilirik orang dari peta di hapenya. “Padang Rumput Cibedug”, tulisnya di kolom search dan muncullah sebuah area terbuka hijau minim manusia. 

“Coba kamu search dari hapemu aja, Ar,” suruh Mas Adit supaya aku yang jadi juru pemandu jalan sementara dia yang menyetir motor. 

“Lah mas, tapi aneh loh. Di hapeku ini nggak nongol itu tempat…” Entah memang iPhone dan Android beda versi peta atau bagaimana, sungguhlah tempat itu tak bisa muncul di hapeku. 

“Ya udah, kamu pegang hapeku aja,” Mas Adit memasrahkan gawainya itu ke tanganku. Dengan kecepatan sedang, aku memandunya melewati tikungan-tikungan tajam dan tanjakan kejam yang membuat si skuter matik ini ngos-ngosan. 

Satu yang bikin sebal jika keluyuran di desa-desa kabupaten Bogor ini adalah suasana perkampungannya kumuh. Rumah-rumah berdempetan. Kebanyakan jarak antara teras ke badan jalan paling-paling cuma sedepa. Belum lagi jalan sempit yang dihiasi angkot dan mobil parkir sembarangan. 

“Nah, nah, nah. Itu deh Ar kayaknya tempatnya,” tunjuk Mas Adit pada sebuah area terbuka nan hijau yang lokasinya menempel di lereng Pangrango. 

“Iya, kali ya?” aku agak ragu karena tempat yang kami mau tuju itu terasa misterius. Bukan objek wisata dan tidak banyak ulasan dari mereka yang pernah pergi ke sana. 

Setelah meninggalkan Desa Cibedug, jalan cor yang kami lintasi semakin menyempit. Rumah-rumah semakin jarang hingga akhirnya lenyap setelah kami melewati sepetak hutan jati. 

“Ini bener jalannya ke sini?” tanya Mas Adit.

“Harusnya bener mas. Soalnya ini di maps memang cuma tinggal jalan segaris lurus ini doang.”

Lima menit berselang, tibalah kami di lokasi. Sepi. Hening. Tidak ada orang satu pun. Sementara itu dari angkasa, gumpalan cumulonimbus sudah semakin mendekati permukaan tanah. Padang rumput hijau memang sudah tersaji di depan mata kami, tapi badai yang sebentar lagi mampir membuat suasana alih-alih menyenangkan jadi mencekam. Kami memutuskan segera turun ke bawah lagi dan sepakat untuk besok paginya kembali naik ke sini. 

Minggu, 8 Januari 2023

Jam setengah tujuh kami sudah bertolak dari Ciderum. Setengah jam kurang, tibalah kami di Padang Rumput Cibedug. 

Sebenarnya jika mengikuti Gugel Maps dengan petunjuk lokasi “Lapangan Bolang”, kami diarahkan melewati jalan aspal yang lebih besar. Namun, ada satu bagian jalan yang dipalang portal dan dijaga satpam. Terpampang tulisan jelas “Area tertutup, dilarang masuk.” Entah lahan ini milik siapa, kami tak tahu. Namun, jalan yang tertutup bukan berarti tiada lagi akses. Dengan memutar lagi ke bawah dan masuk lewat jalan lain, kami pun tiba di tujuan. 

Kali ini suasananya tidak lagi sendu dan kelam seperti kemarin. Matahari pagi sudah benderang, tetapi hangatnya terkikis oleh semilir angin gunung yang dingin. 

Melewati jalan berbatu yang mengarah ke atas sabana. Gunung Pangrango berdiri anggun di latar belakang.
Berjalan ke atas, kita akan disuguhi pemandangan berupa Gunung Salak dan area sekitarnya. Di kaki Salak tersebut ada kawasan pabrik yang membentang dari Cigombong-Cicurug sampai ke Ciawi.
Pangrango dari sisi Cibedug.
Kembali turun dari Cibedug.

Dari posisi terakhir kami tiba kemarin, kami coba susuri jalan berbatu yang mengarah ke pucuk. Kami nekat-nekat saja karena kalau tidak begini, kami tidak tahu ada apa di sana. Namun, ganjaran dari kesenangan dan hasrat menjelajah kami adalah si motor matik jadi sengsara. Aku lebih pilih jalan kaki saja, tapi yang namanya motor matik kan memang didesain untuk jalanan urban, mau tak mau mesinnya panas dan mulai berasap. 

Motor pun akhirnya kami matikan dan parkir di tepian kebun. Ketika suara mesin telah lenyap, sungguhlah jelas suara alam bersahut-sahutan. Desiran angin membelai mesra. Burung-burung bercuitan dari angkasa. Hanya ada kami, bersama satu buah mobil yang menggelar tenda di pojokan padang. 

Saat kami melayangkan mata ke arah lembah, Gunung Salak berdiri teguh di seberang. Dataran rendah berupa area pabrik di Cicurug, Cigombong sampai ke Ciawi juga tampak jelas. 

Jalan cor di Cibedug. Pemandangan hijau luas sungguh menyenangkan, apalagi tanpa bangunan apa pun tampak di sini.
Rumput hijau terasa seperti permadani yang lembut.
Jalan kaki di sini sungguh asyik menyenangkan.

Ini bukan pemandangan dengan kualitas kaleng-kaleng. Padang rumput Cibedug punya daya pikat yang luar biasa! 

Tapi, dilema pun muncul. 

Tempat ini pastinya menyenangkan dan jadi kesukaan bagi banyak orang. Namun, kehadiran lebih banyak orang besar kemungkinan akan mengusik ketenangan yang ada. Atas nama ekonomi, mungkin saja alam harus mengalah. Tidak. Kupikir alam tak lagi boleh mengalah atas niatan manusia yang semakin ekspansif. 

Enam puluh menit kira-kira kami habiskan dengan berjalan santai, juga berdiri bengong di sini. Sesekali ada petani melintas dan kami saling melempar senyum. Tak sempat ada obrolan karena tak ada yang memelankan laju motornya, pun kami merasa sungkan untuk mengusik perjalanan mereka. 

Tanpa informasi lebih jauh yang kami serap hari itu, kami menyesap setiap keheningan dan kesegaran udara gunung dari Padang Rumput Cibedug.

2 pemikiran pada “Menyelundup ke Sabana Cibedug

Tinggalkan komentar