Kuliah Ilmu Komunikasi: Ilmunya Terkesan Sederhana, tapi Sepenting Kita Makan Nasi

Tahun 2011, saya ikut kursus Ganesha Operation (GO) di Bandung dengan harapan nanti lulus SMA bisa diterima di jurusan sejuta umat dan di kampus idaman sejuta umat pula: Fakultas Kedokteran di UGM.

Tapi, baru juga beberapa bulan ikut kursus, mama bilang begini, “Ry, kamu pikir-pikir lagi mau ambil kuliah kedokteran. Itu kan mahal. Uang kita nggak akan cukup.” Omongan mama itu benar. Terlepas dari berbagai kemungkinan dapat beasiswa atau apalah nantinya, nyatanya kuliah di jurusan itu memang mahal. Usaha jualan makanan keluarga kami tak akan cukup untuk membiayai itu semua.

Saya lalu berpikir, jurusan apa yang sekiranya tepat untuk seorang bocah yang sukanya keluyuran ini. Ada yang bilang ambil jurusan Pariwisata saja. Kan asyik, nanti kerjanya di dunia wisata. Saya emoh. Kerja di bidang pariwisata nantinya hanya terbatas melayani orang-orang berduit saja, itu pikiran saya dulu, tiada maksud menyinggung mereka yang bekerja dan berkarya di bidang ini.

Terbersitlah ide untuk kelak menjadi kuli tinta, alias wartawan. Dengan jadi wartawan, saya bisa jalan-jalan ke mana-mana. Wartawan bisa meliput tempat wisata, bisa pula meliput perang. Cari-cari tempat kuliah mana yang pas, akhirnya pilihan saya jatuh ke Jurusan Ilmu Komunikasi di Atma Jaya Yogyakarta. Saya daftar, lalu diterima di sana via jalur raport. Karena sudah diterima di kampus swasta, saya ikut kelas GO hanya sampai Ujian Nasional. Setelah itu di saat teman-teman yang lain harap-harap cemas ikut SenamPTN (dulu kami sebut begitu), saya tinggal menunggu waktu kuliah dengan tenang.

Komunikasi belajar apa sih? Kan semua orang tiap hari juga berkomunikasi 

Pertanyaan ini juga sempat saya pikirkan serius.

Iya ya, tiap hari kan kita ngomong. Terus ini Ilmu Komunikasi belajar apa? Kita diajarin ngomong lagi gitu?

Semester pertama malah makin bingung. Ada mata kuliah Filsafat Sains dan Teknologi, Pengantar Ekonomi Makro, Sosiologi, Antropologi, dan Pengantar Ilmu Komunikasi. Jujur, semua yang dipelajari di semester itu, bahkan bangku kuliah secara keseluruhan, saya hampir banyak lupa. Tapi, ada bagian-bagian esensial yang sampai hari ini saya ingat dan amat berguna.

Setelah akhirnya bekerja mengelola media, saya akhirnya baru ngeh bahwa komunikasi tak sesederhana berbicara, tapi tak seribet menulis skripsi pula. Komunikasi adalah seni dan keterampilan. Makin banyak kita melakukannya, makin luwes gaya komunikasi kita.

Alkisah, saya hendak bilang kepada Budi bahwa saya itu sedang mencari sebuah benda berwarna kuning dan bulat. Saya tidak bilang benda itu apa secara spesifik, hanya memberinya clue sederhana itu. Sejam kemudian, Budi datang membawakan saya sebuah jeruk mandarin berwarna oranye yang dibelinya dari minimarket.

“Bukan itu bud. Aku nggak lagi nyari jeruk.”

Si Budi bingung. “Lah, terus apa dong yang kamu cari? Ini kan kuning, bulat pula.”

“Tupperware mamaku bud. Warnanya kuning, bulet bentuknya. Gak ketemu itu tupperware, mati aku digantung.”

Ilustrasi di atas cuma contoh. Dalam kenyataan, untuk bebeberapa benda atau isu, kita bisa memberikan perkataan yang spesifik, yang tidak ambigu. Tapi, seringkali pula, dalam hidup ini kita diperhadapkan dengan masalah-masalah dan kondisi yang sulit kita jabarkan. Di sinilah proses komunikasi punya peran yang penting.

Komunikasi antara saya dan Budi bisa dikatakan gagal karena tidak tercapainya mutual understanding, alias pemahaman bersama. Komunikasi menjadi berhasil ketika si komunikator dan komunikan punya pemahaman yang sama. Contoh lain yang lebih familiar: si Bos ingin menyampaikan ke stafnya bahwa proyek ini sangat penting dan perlu dibuat dalam waktu sehari saja, tapi dia menyampaikannya sambil cekikan. Alhasil, ada kemungkinan para stafnya tidak menangkap ada sisi urgensi dari proyek ini. Besoknya, proyek ini sama sekali belum selesai karena stafnya tidak ngeh kalau perkataan si bos untuk kelar besok hari adalah pesan yang spesifik dan tidak bermakna ganda.

Kita bisa bicara dan berkomunikasi setiap hari, tapi tanpa sadar dalam komunikasi tersebut ada banyak distraksi atau gangguan yang membuat pesan yang ingin kita sampaikan menjadi kabur maknanya. Distraksi itu bisa berupa emosi yang mempengaruhi nada bicara kita, sinyal ponsel yang seret sehingga obrolan kita putus-putus, atau kendala pemahaman bahasa antara komunikan dan komunikator dan banyak lagi faktor lainnya.

Seni berkomunikasi: seni merangkai kata, mengatur emosi, dan menambah rasa 

Di kampus saya dan pada zaman saya, Ilmu Komunikasi dipecah ke dalam empat peminatan studi setelah semester 3: Public Relations, Advertising, Jurnalisme, dan Kajian Media. Saya mengambil konsentrasi Jurnalisme yang fokusnya memperlengkapi mahasiswa dengan keterampilan memproduksi dan mengolah berita.

Tapi sayang, tahun 2012 adalah tahun di mana Blackberry masih booming. Meski BB sudah terhitung canggih, orang belum ngeh kalau segala hal bisa dilakukan lewat HP. Zaman BB dulu kameranya masih butut, pun IG belum beken. Belum ada istilah selebgram. Orang masih baca koran, beli majalah cetak. Mata kuliah yang saya ambil pun salah satunya adalah Teknik Tata Sunting Surat Kabar yang tugas akhirnya kami membuat koran cetak sungguhan.

Saya lulus di 2016 lalu mendapatkan pekerjaan sebagai content-developer. Kerjaan ini ada kaitannya dengan menulis, seperti wartawan, tapi sistem kerjanya sangat berbeda. Setelah digital menjadi semakin lumrah dalam setiap sendi kehidupan kita, muncullah pekerjaan-pekerjaan yang zaman saya kuliah dulu jarang disebut: content creator, copywriter, content advisor, dan lain-lainnya yang terkait dengan perkontenan duniawi.

Salah satu lingkup pekerjaan dalam bidang Komunikasi antara lain adalah menjadi presenter.
Membawakan materi pada sesi tanya jawab seputar pelayanan digital pada sesi seminar dan talkshow “Little Christ in Industry 4.0”, pada 30 Mei 2019 di HKPB Cibubur, Jakarta Timur.
Selain bicara, komunikasi juga mencakup dunia tulis-menulis. Pada 29 Februari, saya bertemu dengan rekan-rekan kontributor penulis untuk sharing dan memberi materi tentang menulis: “Dari Jari, Naik ke Hati”.

Dari semua konsentrasi studi, masing-masing tetap berakar kuat pada prinsip komunikasi, yakni bagaimana pesan disampaikan dan diterima. Seorang Public Relations punya tugas menjadi komunikator ulung yang menjembatani perusahaan dengan publik. Seorang advertiser, punya tugas merancang strategi supaya pesan produknya dapat diterima oleh khalayak. Seorang wartawan/lulusan jurnalistik punya tugas merancang pesan bisa diterima dan dicerna lewat bentuk tulisan panjang atau produk video. Dan, seorang pengkaji media, punya tugas menelaah bagaimana media bekerja menyajikan informasi pada masyarakat.

Ketika kita berkomunikasi, kita tak cuma sekadar ngomong. Tapi kita perlu memilah kata mana yang mau kita pakai dan memikirkan bagaimana sikap kita saat menyampaikannya supaya pesan kita bisa diterima oleh otak pendengar, atau bahkan diserap oleh hati mereka.

Secara garis besar, kuliah Ilmu Komunikasi itu seru. Kita belajar untuk melihat aktivitas sederhana yang kita lakukan sejak kecil dari kacamata yang lebih detail. Kita jadi ngeh kalau meski terkesan sederhana, komunikasi itu penting, sepenting kita makan nasi setiap hari. Untuk memperlengkapi skill komunikasi kita, ada banyak mata kuliah seru yang bisa diambil: Psikologi Komunikasi, Teori Komunikasi, Metode Penelitian Kualitatif, Penulisan Naskah Feature, Analisis Isi dan Framing, Opini Publik, Media dan Religi, Sinematografi, dan banyak lainnya.

Konflik bisa selesai hanya dengan komunikasi. 

Bayangkanlah kamu dan pacarmu bertengkar, tapi saling ego dan tak berkomunikasi. Bukannya bilang maaf, malah saling lempar kode. Alhasil, besar kemungkinan hubungan itu bakal putus atau kandas. Kecuali kamu punya ilmu gaib yang membuatmu bisa berkomunikasi via telepati lalu hati si doi seketika luluh. Kalau kamu tak punya ilmu seperti itu, maka komunikasilah jalan keluarnya.

Perang-perang bisa usai karena ada komunikasi. Bagaimana negara-negara yang bertikai sepakat duduk, lalu bicara secara verbal mencari titik tengah, dan menuangkannya dalam bentuk teks untuk ditandatangani bersama. Ini semua, komunikasi. 

Pacaran bisa langgeng sampai ke pernikahan bahkan sampai kepada saat maut memisahkan, itu karena ada komunikasi yang dibangun dan dipupuk setiap hari.

Semua orang bisa mendengar, tapi tak semua orang bisa menyimak.

Semua orang bisa menulis, tapi tak semua tulisan bisa dimengerti.

Semua orang bisa bicara, tapi tak semua omongan bisa dimaknai.

Semoga tulisan ini mencerahkan, terkhusus jika ada rekan-rekan yang masih bimbang mau ambil Jurusan Ilmu Komunikasi tapi bingung ini jurusan sebenernya apa sih. 

Salam.

5 pemikiran pada “Kuliah Ilmu Komunikasi: Ilmunya Terkesan Sederhana, tapi Sepenting Kita Makan Nasi

  1. Ilmu komunikasi memang bisa dibilang agak-agak “abstrak” ya. Tapi di zaman sekarang di mana media memegang peran penting untuk mengontrol opini publik, justru ilmu komunikasi jadi sangat kepake.

    Apalagi kalo ga salah cabangnya juga banyak dan spesifik, komunikasi perusahaan, pemerintahan, politik, PR, dll.

    Saya setuju banget sama poinnya: komunikasi adalah seni dan keterampilan.

    1. Waktu kuliah sampe semester tiga, bener banget, merasa ini ilmu kok abstrak ya. Apalagi waktu semester satu mata kuliahnya campur-campur: ada sosiologi, antropologi, dll haha.

      Stlh terjun ke dunia kerja, baru ngeh deh 🙂

Tinggalkan komentar